Kontradiksi "Stop Killing Games", Menghancurkan atau Dihancurkan - Can't Pause for Gaming

Home Top Ad

Responsive Ads Here

24 July 2025

Kontradiksi "Stop Killing Games", Menghancurkan atau Dihancurkan



Semakin hari, industri game semakin meresahkan banyak orang. Bagaimana tidak, industri yang berkembang begitu pesat dari tahun ke tahun, muncul seruan lantang dari komunitas gamer dengan movement "Stop Killing Games". Seruan ini bukan sekadar ungkapan kekecewaan mereka terhadap kebijakan-kebijakan developer maupun publisher yang dinilai merugikan konsumen, melainkan bentuk protes terhadap praktik penutupan layanan game yang sering kali terjadi tanpa kompromi yang bahkan terjadi pada judul-judul game yang masih memiliki basis pemain aktif. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mengenai hak kepemilikan atas karya digital dan batas tanggung jawab pengembang dalam menjaga keberlangsungan game yang telah mereka rilis ke publik.
 
Di satu sisi, gamer merasa memiliki keterikatan emosional terhadap game yang mereka mainkan, terlebih ketika waktu, uang, dan tenaga telah mereka curahkan ke dalamnya. Di sisi lain, developer dan publisher dihadapkan pada realitas ekonomi yang menuntut efisiensi dan rotasi produk dalam siklus bisnis yang kompetitif. Di tengah siklus ini, lahirlah kontradiksi yang tak terhindarkan tentang sebuah konflik antara idealisme kreatif, tuntutan pasar, dan ekspektasi publik.
 
Ketika sebuah game dimatikan oleh developer atau publisher, yang hilang bukan hanya sebuah produk hiburan semata, melainkan juga potongan sejarah digital yang tidak mudah untuk dikembalikan di masa depan. Maka, pertanyaan pun menggema di kalangan gamer selaku konsumen, pengamat, hingga ke pelaku industri itu sendiri: apakah para developer dan publisher benar-benar tengah menghancurkan karya mereka sendiri atau justru terpaksa memilih dihancurkan oleh sistem yang tidak mampu mereka lawan?
 
 
 
Stop Killing Games muncul sebagai bentuk kegelisahan komunitas gamer yang merasa bahwa hak mereka sebagai konsumen kerap diabaikan. Seiring dengan meningkatnya dominasi model distribusi digital dan online service di industri game sekarang ini, banyak judul game yang mengharuskan untuk terhubung online pada server, update online, hingga bahkan autentikasi DRM yang bergantung sepenuhnya kepada developer dan penyedia layanan. Ketika infrastruktur ini dihentikan, akses terhadap game pun terputus sepenuhnya, bahkan bagi gamer yang telah membelinya secara sah.
 
Movement ini mendapat momentum saat sejumlah game populer ditarik dari peredaran atau dimatikan secara sepihak oleh developer maupun publisher. Seperti contoh pada kasus The Crew dari Ubisoft yang menjadi salah satu yang paling disorot, ketika player tidak lagi bisa mengakses game tersebut meskipun masih terinstal di console atau perangkat mereka. Contoh lain seperti Mirror's Edge Catalyst, Battleborn, dan Babylon's Fall turut memperkuat narasi bahwa game modern semakin rentan terhadap penghentian akses sepihak dan tidak peduli seberapa besar dedikasi komunitasnya.
 
Di balik keresahan tersebut, tersimpan pesan yang lebih luas tentang game bukan lagi semata produk hiburan yang bisa dipakai lalu dibuang, melainkan warisan digital yang mengandung value budaya, sosial, hingga bahkan historis. Ketika sebuah game dimatikan, tidak hanya akses yang hilang tetapi juga potensi pembelajarannya, rekam jejak desain interaktif, hingga ke cerminan zaman tempat game itu lahir. Maka tidak heran apabila movement ini tumbuh menjadi lebih dari sekadar keluhan para gamer karena telah menjadi bentuk perlawanan terhadap pendekatan industri yang dianggap terlalu berorientasi jangka pendek.
 
Meski demikian, suara komunitas ini tidak selalu mendapat tanggapan setimpal. Sebagian orang dan perusahaan memilih untuk bungkam dan melawan, sementara yang lain banyak juga yang memberikan pernyataan normatif tanpa solusi konkret. Ketimpangan ini memperkuat kesan bahwa relasi antara developer dan publisher kepada gamer kini berada dalam titik krisis kepercayaan. Di sinilah gerakan Stop Killing Games mengambil posisi, bukan untuk menolak realitas bisnis tetap untuk menuntut pertanggungjawaban moral atas karya yang telah menjadi bagian dari kehidupan banyak orang.
 
Berikut adalah poin penting yang dharapkan dari movement Stop Killing Games:
  1. Game yang sudah dibeli harus bisa dimainkan meskipun sudah ditutup atau ditarik dari peredaran.
  2. Memberikan kompensasi apabila game yang tidak bisa dimainkan tidak ada solusi alternatif.
  3. Developer wajib menyediakan fitur offline atau mod untuk game single player, bukan untuk game MMO.
  4. Developer atau publisher memberi tahu dari jauh hari apabila ada rencana untuk mengakhiri layanan gamenya.
  5. Memberikan edukasi atau himbauan terbuka tentang kepemilikan game maupun hanya sebatas lisensi, namun game yang sudah dibeli merupakan hak penuh konsumen untuk menyimpan dan menggunakannya. 
 
Ross Scott, seorang YouTuber dan content creator channel Accursed Farms, sebagai inisiator movement Stop Killing Games yang digalakkan sejak April 2024.
 
Stop Killing Games memiliki tujuan 1.000.000 tanda tangan untuk petisi movement dan hanya berlaku bagi warga Eropa. Saat ini telah mencapai >1.400.000 dukungan. (sumber: Stop Killing Games)
 
 
Realitas Bisnis dan Tekanan Publik
 
POV perusahaan
 
Di balik setiap keputusan untuk mematikan sebuah game, tersimpan kompleksitas realitas bisnis yang sering kali luput dari perhatian publik. Model distribusi game saat ini telah bergeser drastis dari yang tadinya kepemilikan game fisik secara penuh menuju layanan digital yang bersifat temporer dan bergantung pada konektivitas. Banyak game modern yang tidak lagi berdiri sendiri, melainkan terintegrasi online yang menuntut maintenance, update, support, serta third party lisence yang tidak selalu bisa diperpanjang selamanya.
 
Bagi perusahaan, mempertahankan game yang tidak lagi memberikan profit merupakan beban yang tidak rasional secara ekonomi. Biaya infrastruktur, keamanan data, serta pengawasan sistem menjadi pengeluaran berkelanjutan yang tidak sebanding jika pembelian menurun drastis. Lebih jauh, perusahaan harus terus mengalokasikan sumber daya manusia untuk memperbaiki bug, menanggapi laporan, atau mengelola komunitas yang mungkin sudah tidak aktif secara signifikan. Dalam kerangka logika bisnis, keputusan untuk menghentikan layanan menjadi langkah efisien meskipun berdampak buruk secara emosional dan kultural bagi sebagian besar playernya.
 
Tekanan tidak hanya datang dari internal tetapi juga dari eksternal, yakni persaingan antara game yang meningkat tajam dari hari ke hari, terutama dengan hadirnya model game free to play, live service, dan battle pass yang memikat player dengan pembaruan konten secara berkala. Eksistensi sebuah game menjadi semakin bergantung pada data jumlah download, waktu bermain, hingga ke konversi microtransaction alih-alih kualitas atau inovasi semata.
 
Dengan demikian, pertanyaan penting yang perlu diajukan bukan hanya mengapa game-game ini dimatikan, tetapi juga sistem macam apa yang mendorong developer maupun publisher untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Dalam upaya bertahan di tengah arus persaingan yang begitu brutal, industri game tampaknya terpaksa memilih melanjutkan dengan risiko kerugian atau mengakhiri dan memusatkan sumber daya ke project selanjutnya.
 
POV Konsumen
 
Bagi gamer, keputusan sepihak untuk menutup akses terhadap sebuah game sering kali dipandag sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan yang telah dibangun antara konsumen dan pengembang. Game bukan sekadar produk, namun lebih sebagai ruang interaksi, medium ekspresi, bahkan sarana pelarian dari dunia nyata. Ketika sebuah judul yang telah menemani hari-hari player selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tiba-tiba dimatikan begitu saja, maka yang hilang bukan hanya akses, tetapi juga ikatan emosional yang telah terbangun secara mendalam.
 
Banyak konsumen merasa bahwa hak mereka sebagai pemilik sah dari sebuah game diabaikan begitu saja. Dalam banyak kasus, pembelian game digital tidak disertai dengan kejelasan akan masa berlaku, dan tidak sedikit yang baru menyadari sifat sementara dari game berbasis layanan ketika sudah terlambat. Keberadaan game yang sepenuhnya bergantun pada server pusat menimbulkan pertanyaan: apakah yang mereka beli sebenarnya adalah produk penuh atau sekadar lisensi sewa yang dapat dicabut sewaktu-waktu?
 
Tekanan industri game yang terus berkembang secara agresif juga menimbulkan keresahan di kalangan gamer. Game baru yang datang silih berganti menciptakan ekosisitem konsumsi yang begitu cepat dan melelahkan, seolah-olah gamer dipaksa untuk terus berpindah dari satu game ke game berikutnya tanpa sempat menikmati satu judul secara utuh. Dalam konteks ini, banyak game diperlakukan sebagai produk sekali pakai, dan player hanyalah sebagai konsumen pasif yang harus mengikuti arah industri tanpa kuasa untuk menolak.
 
Kekecewaan semakin dalam ketika player yang telah menghabiskan uang untuk microtransactions tidak mendapat bentuk kompensasi apa pun saat layanan dihentikan. Rasa kehilangan itu menjadi nyata, karena yang mereka investasikan bukan hanya uang tetapi juga waktu, tenaga, dan emosi. Dalam pandangan banyak konsumen, keputusan untuk membunuh game demi efisiensi bisnis menunjukkan ketimpangan kekuasaan dalam relasi antara industri dan gamer. 
 
Kemarahan yang melandasi movement Stop Killing Games bukan berasal dari ketidakmampuan menerima kenyataan, melainkan dari kesadaran bahwa ekosistem digital tempat mereka berada tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak dasar sebagai konsumen. Mereka menuntut hak untuk mempertahankan apa yang telah mereka bayar, hak untuk memiliki, hak untuk mengenang sebagai bagian dari sejarah game, dan yang terpenting adalah hak untuk tidak dilupakan begitu saja.
 
Ini adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri game yang menolak movement Stop Killing Games. (sumber: u/Musiciant)
 
  
Kasus Pirate Software: Ketika Perlawanan Justru Memperkuat Movement
 
Salah satu momen yang mempertegas ketegangan dalam movement Stop Killing Games terjadi ketika ada seorang YouTuber yang dikenal sebagai Pirate Software atau Thor, developer indie dan mantan staff Blizzard, menyatakan bahwa ia tidak setuju dengan movement ini secara terbuka. Bagi sebagian kalangan, ia tampil sebagai suara alternatif yang mewakili kekhawatiran para developer terhadap konsekuensi dari tuntutan fandom. Namun, reaksi publik yang muncul justru berbalik menjadi gelombang penolakan besar-besaran terhadap dirinya.
 
Pirate Software mengkritik movement ini sebagai sesuatu yang terlalu populis dan tidak mempertimbangkan kompleksitas dunia developer di era modern sekarang. Ia berpendapat bahwa tuntutan seperti menyediakan mode offline atau memberikan kontrol ke fandom ketika server ditutup sangatlah tidak realistis terutama bagi studio kecil yang tidak memiliki sumber daya untuk mendukung tuntutan semacam itu. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa movement ini dapat membebani developer secara hukum, teknis, dan finansial tanpa memberikan solusi yang seimbang.
 
Namun alih-alih memicu diskusi yang positif, pernyataan Pirate Software menuai kritik tajam. Banyak orang menganggap sikapnya sebagai anti konsumen dan tidak berempati terhadap gamer yang kehilangan akses atas game yang mereka beli secara sah. Respon publik memuncak dalam bentuk unfollow/unsubscribe besar-besaran di channel YouTube miliknya yang mencapai >200.000 hanya dalam beberapa minggu. Beberapa pihak bahkan melaporkan adanya pelecehan digital, ancaman doxing, hingga tindakan ekstrem seperti swatting yang ditujukan kepada Pirate Software.
 
Ironisnya, dalam salah satu pernyataannya, Pirate Software menyatakan bahwa sengaja menjadikan dirinya sebagai tokoh antagonis yang justru mempercepat pertumbuhan movement yang ia tolak ini. Petisi Stop Killing Games, yang sebelumnya hanya bertambah berlahan, justru melesat setelah kontroversi ini meledak di berbagai platform media sosial dan forum di internet. Apa yang dimaksudkan sebagai kritik konstruktif berubah menjadi katalis bagi kebangkitan semangat kolekti para supporter movement Stop Killing Games. Namun, publik menilai bahwa ia hanya sok menjadi pahlawan dan mengambil kredit karena sudah terlanjur viral padahal kenyataannya dia memang tetap menolak movement ini.
 
Namun, di balik kontroversi tersebut, kita dapat menangkap satu pelajaran penting bahwa movement Stop Killing Games bukanlah pertarungan individu, melainkan percakapan yang lebih besar tentang masa depan kepemilikan digital, keterlibatan komunitas, dan tanggung jawab moral dari seluruh pelaku industri game.
 
Berikut poin penting opini publik tentang Pirate Software:
  1. Dituding sebagai anti consumer, di mana tidak membela hak konsumen melainkan membela perusahaan-perusahaan yang menyetujui bahwa game bisa ditarik suatu waktu dan konsumen tidak memiliki hak memiliki meskipun sudah membeli secara legal.
  2. Disebut salah memahami movement Stop Killing Games, di mana ia hanya membaca beberapa detik dan mengambil kesimpulan sendiri dengan tidak menyetujui game online dijadikan offline dan diberikan hak penuh ke komunitas. Padahal, movement ini bertujuan untuk memberikan transparansi kapan service game akan berakhir dan game yang memiliki mode offline namun dengan DRM online harus bisa memastikan bahwa gamer bisa memainkan game tersebut meskipun DRM online sudah ditutup servernya.
  3. Pirate Software keras kepala dan tidak mau mengakui kesalahannya, hal ini dikarenakan ia salah memahami movement Stop Killing Games dan Ross Scott mencoba memberikan penjelasan kepadanya namun ditolak mentah-mentah dan menganggap bahwa ia sudah benar dan tidak ada yang perlu dikoreksi.
  4. Selalu membanggakan pengalaman sebagai mantan staff Blizzard, namun ia mengelak bahwa ia pernah membahas pernah bekerja di Blizzard. Banyak orang yang melakukan clip di setiap live streamingnya yang hampir selalu berbicara bahwa ia pernah bekerja di Blizzard selama beberapa tahun. Komunitas pun heran kenapa ia musti berbohong.
  5. Dicurigai bahwa Pirate Software sok pintar dalam dunia game, sok jago dalam coding namun berantakan, dan memakai voice filter supaya suara aslinya lebih terlihat serak agar berwibawa dan dewasa. Banyak orang yang membuktikan bahwa ia hanya melakukan pencitraan dan pembohongan publik yang mencari atensi.
 
Kami telah melakukan backup pernyataan Pirate Software tentang Stop Killing Games yang ia posting di media sosial X. Hal ini bertujuan untuk melakukan arsip yang mana apabila suatu saat postingan tersebut dihapus atau hilang. Silakan kunjungi link berikut: [Backup] Pirate Software Tweet About "Stop Killing Games" and Some People.
 
Banyak orang bereaksi terhadap pernyataan Pirate Software yang dituding sebagai sosok yang anti consumer, salah satunya di channel YouTube Quintheo yang sering update tentang perkembangan konflik terbaru.
 
 
Ubisoft: Penolakan Secara Terang-terangan
 
Sikap sebagian perusahaan besar terhadap movement Stop Killing Games memperlihatkan adanya perbedaan pandangan mendasar antara pelaku industri dan konsumen (gamer). Salah satu contoh paling mencolok datang dari Ubisoft yang secara terang-terangan menolak tuntutan utama dari movement tersebut. CEO Ubisoft, Yves Guillemot, menyatakan bahwa produk game digital pada dasarnya adalah layanan, bukan sebuah produk permanen. Ia menegaskan bahwa tidak ada jaminan abadi dalam layanan digital dan bahwa suatu saat game memang harus dihentikan. Pernyataan ini mencerminkan pandangan pragmatis perusahaan terhadap siklus hidup produk digital dalam dunia bisnis yang dinamis.
 
Sebagai respon atas kritik fandom terhadap penutupan game seperti The Crew, CEO menekankan bahwa Ubisoft telah menawarkan alternatif seperti memberikan diskon besar-besaran untuk The Crew 2 dan berjanji menghadirkan mode offline dalam game-game mendatang. Namun perusahaan tetap mempertahankan klausul di EULA (End-User License Agreement) yang menyatakan bahwa mereka memiliki hak penuh untuk mencabut akses atas produk dan bahkan meminta player untuk menghapus atau menghancurkan salinan yang dimiliki, baik dalam bentuk digital maupun fisik. Sikap ini memperjelas bahwa Ubisoft tetap menganggap dirinya sebagai pemilik mutlak atas game yang telah dirilis dan dijual meskipun telah dibeli oleh konsumen secara sah dan legal.
 
Pandangan tersebut memicu kritik dari berbagai kalangan, terutama dari pendukung movement Stop Killing Games. Ross Scott menyebut bahwa komentar CEO tersebut sepenuhnya gagal memahami inti persoalan, sama halnya dengan Pirate software yang juga gagal memahami maksud dari movement ini. Inti dari Stop Killing Games adalah tidak menuntut perusahaan untuk mendukung secara permanen, melainkan meminta adanya rencana yang jelas dan manusiawi untuk game yang dimatikan seperti mendukung mode offline atau memberikan izin untuk membuka akses server bagi fandom. Pernyataan Ubisoft justru memperkuat anggapan bahwa perusahaan lebih memilih pendekatan legalistik dan bisnis murni daripada menjalin relasi jangka panjang yang sehat dengan komunitasnya yang mana sebagai konsumennya juga.
 
Lebih luas lagi, sikap Ubisoft menjadi cerminan dari resistensi industri terhadap wacana pelestarian digital. Asosiasi seperti Video Games Europe menyatakan bahwa tuntutan fandom untuk menjaga akses terhadap semua game yang telah dirilis akan membuat development game menjadi tidak ekonomis, penuh risiko hukum, dan mengancam keberlanjutan perusahaan. Di sisi lain, fandom memandang bahwa argumen tersebut hanya memperlihatkan ketimpangan kuasa dalam ranah digital, di mana perusahaan memiliki kontrol penuh sementara konsumen hanya menjadi penyewa dalam sistem yang mereka biayai. Lebih parahnya lagi, konsumen bisa saja dianggap sebagai sapi perah perusahaan yang hanya menginginkan uang dari pasarnya dengan cara memaksa untuk membeli game-game terbaru meskipun game tersebut hanyalah sebuah enhanced atau remaster yang tidak terlalu jauh perbedaannya dari game sebelumnya.
 
Reaksi publik terhadap pernyataan Ubisoft tidak bisa diredam begitu saja. Bagi banyak gamer, alasan-alasan yang diutarakan oleh perusahaan besar ini terdengar seperti rasionalisasi dari tidak mau bertanggung jawab secara moral. Dalam era digital, di mana hubungan antara produsen dan konsumen yang semakin transparan, pendekatan sepihak seperti ini justru memperdalam jurang kepercayaan konsumen terhadap perusahaan. Ditambah, ada banyak dosa-dosa besar Ubisoft yang dilakukan secara terus-menerus dan bertubi-tubi dari waktu ke waktu. Beberapa dosa besar tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.
  1. Merilis game yang tidak sesuai ekspektasi. Assassin's Creed Shadow menjadi game yang paling hangat belakangan ini, dikarenakan Ubisoft menggadang-gadang bahwa game tersebut akan disukai oleh banyak fansnya, namun ternyata banyak sekali konten yang tidak disukai oleh fandom. Misalnya desain karakter yang tidak sesuai, mekanik gameplay yang cringe, konten yang membosankan dan repetitif, hingga kebohongan yang mengatakan bahwa game tersebut benar-benar akurat terhadap sejarah.
  2. Game gagal namun yang disalahkan pihak lain. Star Wars Outlaws menjadi salah satu game yang membuat marah fandom, pasalnya begitu banyak bug yang tidak kunjung diperbaiki dengan segera. Lebih parahnya lagi, Ubisoft mengatakan bahwa kegagalan game ini karena nama Star Wars kurang diminati oleh fans, padahal kegagalan jelas sekali terlihat bagaimana Ubisoft sembarangan bekerja dan asal merilis.
  3. Menyalahkan gamer namun membanggakan diri. Ubisoft mengklaim bahwa nama mereka jelek karena gamer, tapi di sisi lain Ubisoft menyatakan bahwa mereka membuat keputusan yang tepat dengan menghadirkan microtransaction di setiap game mereka karena gamer senang dengan hal tersebut. Fitnah inilah yang membuat fandom semakin geram dengan Ubisoft.
  4. Kebijakan EULA yang memaksa dan anti consumer. Ubisoft menolak untuk memberikan dukungan terhadap movement Stop Killing Games dan memberikan pernyataan bahwa membeli bukan berarti memiliki, ditambah di EULA mereka menyebutkan bahwa Ubisoft berhak menghapus atau menghancurkan game yang telah dibeli, baik digital maupun fisik.
  5. Isu mencuri data player secara diam-diam dan kabarnya petinggi Ubisoft melakukan kekerasan seksual terhadap staff dan karyawannya. Sekelompok orang mengetahui bahwa Ubisoft mencuri data dari para player secara diam-diam dengan melampirkan beberapa bukti yang diposting di media sosial, ditambah beberapa mantan staff dan karyawan yang pernah bekerja di Ubisoft mengaku mendapatkan perlakuan buruk berupa kekerasan seksual dari atasannya. Tentu saja, Ubisoft menyangkal hal tersebut tapi fandom sudah tidak percaya lagi.
Banyak yang mempertanyakan kenapa game-game Ubisoft wajib online meskipun game tersebut adalah game offline. Ubisoft menyangkal dengan memberikan pernyataan bahwa mereka mewajibkan player untuk online karena DRM, namun publik tidak percaya akan hal tersebut karena Ubisoft terkenal sebagai perusahaan yang selalu berbohong dan semaunya. (sumber: noyb)
 
 
Movement adalah Awal, Bukan Solusi Instant
 
Movement Stop Killing Games sejatinya bukan jawaban tuntas atas persoalan yang kompleks, melainkan sebuah panggilan untuk memulai menggerakkan banyak orang agar memberi perhatian ke hal yang selama ini diabaikan tentang pentingnya pelestarian digital, keadilan konsumen, hingga transparansi dalam relasi antara industri dengan komunitasnya. Namun, seberapa besar atau kecilnya sebuah movement tidak serta merta menghasilkan solusi yang langsung dapat diterapkan. Dibutuhkan keterlibatan banyak pihak, seperti dari pembuat kebijakan di jalur hukum yang mana nanti developer wajib untuk mentaati hukum yang berlaku sehingga konsumen mendapatkan perlindungan hukum tentang produk yang sudah mereka beli secara legal.
 
Movement ini adalah sebuah fondasi awal untuk membuka ruang diskusi yang kritis, eksperimen kebijakan, hingga inovasi teknis yang lebih berorientasi pada kelangsungan value jangka panjang daripada sekadar keuntungan sesaat. Hal ini juga bisa menjadi pengingat bahwa kemajuan digital harus disertai dengan tanggung jawab moral dan kesadaran akan pentingnya value game sebagai objek sejarah. Dengan kata lain, Stop Killing Games bukanlah solusi final, melainkan tanda bahwa fandom kini sudah siap memperjuangkan bentuk industri yang lebih adil, terbuka, dan berakar pada penghormatan terhadap karya serta pengalaman manusia di dalamnya.

No comments:

Post a Comment