Era Kejenuhan AAA: Bagaimana Game Indie Menjadi Peluang Emas



Industri game saat ini sedang berada pada kondisi yang memprihatinkan, pasalnya setiap tahun deretan game AAA baru hadir dengan promosi yang megah, trailer sinematik, dan janji gameplay yang mempesona namun begitu dirilis sering berubah menjadi kekecewaan. Banyak gamer yang merasa dibohongi dan bahkan dicekoki oleh politik DEI oleh kaum woke, belum lagi game tersebut juga memiliki begitu banyak bug, sistem monetisasi yang agresif, yang membuat gameplay menjadi cringe.
 
Ketidakpuasan ini bukan sekadar soal teknis belaka tetapi juga seperti kreativitas yang berada di ujung tanduk. Banyak studio besar yang memilih untuk bermain aman agar mempertahankan posisi mereka di pasar, mengulang formula yang sudah terbukti laku ketimbang menciptakan sesuatu yang benar-benar baru. Judul besar juga seperti template belaka, hanya dihiasi oleh grafis yang tajam dan fitur microtransaction. Sebagian gamer mulai kehilangan rasa penasaran akan suatu game yang terlihat wah, tidak berekspektasi yang tinggi, dan bahkan cenderung menghindari game yang memiliki promosi yang terlalu menjanjikan.
 
Fenomena ini biasanya terjadi ketika stakeholder ikut campur dalam sebuah project atau bisnis ke depannya, di mana anggaran produksi yang begitu besar namun setiap keputusan kreatif harus tunduk pada ekspektasi investor. Alhasil, game bukan lagi sebuah karya melainkan hanya sebuah produk komoditas. Gameplay yang dulu didorong oleh imajinasi kini berubah menjadi transaksi yang repetitif dan monoton.
 
Pasar sudah jenuh dengan kehadiran game live service, pasalnya banyak dari mereka menghadrikan monetisasi yang begitu masif yang memaksa player untuk membeli agar bisa melanjutkan progressnya.
 
 
Penyebab Game AAA Kehilangan Daya Tarik di Mata Gamer
 
Ada begitu banyak kasus tentang ketidakpuasan bermain game AAA, terutama pada game-game yang hanya berorientasi pada profit dan takut berinovasi karena katanya penuh dengan risiko. Studio menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam membuat game AAA dengan dana ratusan juta dolar, tetapi hasil akhir yang disajikan biasanya bukan dari keinginan para kreatornya melainkan kompromi antara stakeholder yang menginginkan keamanan finansial dan ekspektasi penjualan.
 
Banyak perusahaan yang sibuk menjaga brand value daripada membangung pengalaman baru dari suatu game. Mereka yang menempuh jalan aman memiliki pola yang itu-itu saja, seperti membuat milking sekuel dari waralaba lama atau yang sudah memiliki basis fandom. Hal seperti ini memang menjual, namun semakin sering dilakukan maka semakin kehilangan gairah. Inovasi akan mati perlahan demi laporan keuangan yang terlihat sukses di permukaan.
 
Seringkali, tekanan dari investor dan pemegang saham juga bisa membuat studio engga untuk melakukan eksperimen, di mana jika terjadi kegagalan maka akan mengalami kerugian yang besar, dan apabila rugi besar maka akan kehilangan kepercayaan pasar investor. Akhirnya, ada begitu banyak project yang awalnya menjanjikan ide segar tapi dipangkas setelahnya, disederhanakan, atau bahkan dibatalkan.
 
Faktor lain yang juga ikut memperparah adalah begitu banyaknya monetisasi yang mengekang pengalaman bermain. Mulai dari microtrasaction, battle pass, hingga DLC tidak penting. Ketika setiap menit waktu bermain yang dihabiskan dihitung berdasarkan potensi keuntungan, rasa kebebasan yang dulu menjadi inti dari bermain video game perlahan terkikis. Para gamer kini semakin kritis, mereka tidak lagi terpesona oleh grafis realistis, dan banyak dari mereka yang menuntut pengalaman bermain yang autentik dan memuaskan.
 
Game AAA masih mendominasi pasar, tapi daya tariknya mulai pudar di mata gamer akibat banyak kekecewaan yang dihadapi. Banyak gamer yang beralih bermain game indie karena dinilai lebih jujur dan emosional, sesuatu yang tidak lagi mereka temukan di perusahaan besar. Studio kecil dirasa berani menantang arus utama.
 
Game Mindseye menjadi salah satu game yang sangat mengecewakan, pasalnya ia memiliki banyak bug dan cutscene yang begitu panjang dan membosankan. Game ini digadang-gadang sebagai rival GTA V, namun tidak sesuai ekspektasi.
 
Anda bisa melihat salah satu video yang ada di YouTube tentang bagaimana mengecewakannya game Mindseye.
 
 
Kehadiran Game Indie sebagai Angin Segar
 
Di saat banyak studio besar yang kehilangan arah, studio indie hadir membawa angin segar di kalangan gamer. Game indie ini tidak lahir dari kekuatan modal, melainkan mereka datang bermodalkan ide. Mereka tidak bergantung pada grafik hiperrealistis, campaign marketing yang menggebu-gebu, tapi mereka datang dengan karya yang artistik dan keberanian atas kreativitas.
 
Banyak studio game indie yang memulai project mereka dari sebuah ruang kecil dengan individu yang terkadang tidak memiliki tim, kalau ada tim pun bisa dihitugn oleh jari. Namun, di balik keterbatasan ini ternyata mereka bisa melahirkan karya yang melampaui ekspektasi gamer. Misalnya saja seperti game Hollow Knigth yang dibangun oleh tim kecil asal Australia, Team Cherry, berhasil menciptakan dunia yang luas, artistik, dan emosional tanpa dukungan penanam modal raksasa. Bahkan game ini sudah memiliki sekuelnya yang bernama Hollow Knight: Silksong yang sama-sama sukses. Contoh lain lagi ada Stardew Valley, di mana ini adalah karya dari satu orang bernama Eric Barone, ia bisa membuktikan bahwa ketulusan dan detail yang dikerjakan dengan cinta dapat mengalahkan formula industri yang kaku.
 
Game indie seakan membawa kembali sesuatu yang hilang, yakni raksa keintiman antara gamer dan gamenya. Di tangan developer indie, game bukan hanya sekadar hiburan melainkan sebagai medium ekspresi, terapi, bahkan bentuk komunikasi emosional. Mereka berani mengangkat tema yang jarang disentuh oleh game besar, seperti tema depresi, kehilangan sesuatu yang berharga, identitas yang ambigu, hingga hubungan antar individu yang begitu kompleks.
 
Fenomena ini menunjukkan bahwa industri game tidak lagi miliki raksasa saja. Di tengah dominasi produk besar yang mulai kehilangan jiwanya, developer indie menciptakan ruang baru, di mana kreativitas, story, hingga emosi adalah hal yang berharga. Bagi gamer, game indie bukan sekadar alternatif saja, namun mereka adalah sebuah hal yang mengingatkan gamer pada esensi sejati bermain game, eksplorasi, eksperimen, hingga terasa hidup di dalam dunianya.
 
Game Sea of Stars menjadi salah satu game RPG indie terbaik yang pernah ada, pasalnya ia hadir di tengah gempuran AAA action RPG. Game ini menghadirkan sistem battle turn based action dengan sedikit mekanik yang berbeda dan ada banyak konten yang disajikan di dalamnya.
 
 
Pergeseran Minat dan Pola Konsumsi Gamer
 
Biasanya, dulu gamer menantikan berita terbaru tentang game-game yang akan dirilis nantinya oleh perusahaan-perusahaan besar. Namun, sekarang berubah, penantian bukan lagi tertuju pada suatu perusahaan tapi pada platform distribusi game. Seperti Steam, Epic Games Store, Itch.io, GOG, atau store-store lainnya. Jenis gamenya pun juga ikut berubah, di mana tadinya gamer menantikan perilisan game AAA terbaru namun banyak yang menunggu game-game indie yang terlihat menjanjikan.
 
Data penjualan game juga menunjukkan hal yang berbeda, di mana biasanya laporan penjualan game AAA hampir selalu merajai top chart, namun sekarang dalam beberapa kasus justru banyak game indie yang melampaui performa game AAA. Mereka bahkan tidak menggunakan promosi besar-besaran. Gamer begitu menghargai konsep unik dan nilai artistik pada sebuah game, bukan dari kemewahan grafis atas nama besar suatu judul.
 
Peran media sosial dan forum juga menjadi media yang sangat penting dalam promosi game indie. Ada banyak streamer dan content creator yang mampu mengangkat game kecil menjadi viral hanya dengan satu momen autentik saja, di mana reaksi emosional, tawa spontan, atau bahkan pengalaman tak terduga yang membuat orang lain ikut merasakan apa yang dirasakan. Ini adalah rantai organik di era digital yang lebih berharga dibandingkan iklan mahal, karena keaslian bisa menjadi alat promosi yang paling efektif.
 
Metode early access dan crowdfunding juga memberi nafas bagi banyak studio kecil untuk dapat bertahan. Relasi antara developer dan playernya juga lebih terasa, sehingga ini membuat gamer bukan lagi sebagai konsumen, melainkan sebagai supporter aktif yang ikut membentuk perkembangan sebuah game. Interaksi seperti ini sangat sulit ditemukan di perusahaan AAA yang formal dan tertutup.
 
Game Hollow Knight adalah salah satu game yang sukses dengan metode crowdfunding, dan developer tidak mengecewakan orang-orang yang sudah ikut membantu mereka. Sekuelnya, Hollow Knight: Silksong, juga sukses di pasaran.
 
 
Peluang dan Realita Pahit Indie Game
 
Perjalanan sebuah game indie memiliki cerita tersendiri di setiap perjalanannya. Tidak semua project berhasil menjadi keberhasilan, sebagian besar justru tenggelam tanpa sempat dikenal. Ribuan game indie dirilis setiap tahunnya di platform Steam, namun hanya segelintir yang mampu meraih perhatian publik. Para kreator game indie berada pada dunia yang penuh dengan peluang, namun persaingan semakin sengit.
 
Faktor keterbatasan modal juga menjadi hambatan yang paling dirasakan. Studio besar biasanya memiliki anggaran produksi dan promosi hingga jutaan dolar, namun studio indie sering kali harus mengandalkan strategi word of mouth dan membangun relasi dengan berpartisipasi di fandom gaming. Developer indie berperan sebagai palugada (apa lu mau, gw ada) di mana ia menjadi seorang designer, programmer, marketer, content creator, bahkan menjadi customer support dengan sumber daya dan waktu yang sangat terbatas. Banyak dari mereka yang mengorbankan kenyamanan hidup demi menyelesaikan project impian mereka.
 
Tidak berhenti sampai di sini, pasar di industri game pun juga sangat ramai. Setiap minggunya akan selalu ada game-game berkualitas yang tenggelam dan terlupakan di antara begitu banyaknya game yang rilis. Platform seperti Steam memang menyediakan ruang bagi siapa pun, tapi tanpa dukungan algoritma, exposure media, hingga komunitas yang solid pun bisa saja membuat suatu game bisa lenyap dalam sekejap.
 
Dari realita tersebut, tidak sedikit juga pada akhirnya studio indie yang berusaha mengubah konsep kreatif mereka agar dapat dilirik oleh investor, publisher, atau perusahaan pesar. Ini memunculkan dilema antara idealisme bertemu dengan realita ekonomi. Banyak dari mereka yang pada akhirnya kehilangan hak atas karyanya setelah menandatangani kontrak.
 
Para pelaku indie sebenarnya berkarya bukan karena mereka yakin akan kaya, tetapi karena mereka tidak bisa berhenti menuangkan ide dari dalam angan dan mimpi. Mereka bergerak atas dasar passion dan hobi, lebih dari sekadar profit karena mengekspresikan diri dan ingin bercerita kepada orang lain dalam bentuk game.
 
Ada beberapa publisher yang bisa memberikan sedikit harapan kepada para pelaku game indie, di mana mereka menawarkan bantuan finansial dan distribusi tanpa mengorbankan independensi kreator sepenuhnya. Ekosistem semacam ini menjadi bukti bahwa dunia indie tidak hanya bergantung pada semangat, tetapi juga membutuhkan struktur yang sehat agar bisa tumbuh dan bertahan.
 
Sebuah game indie yang berjudul A Game About Digging A Hole menduduki top selling game di Steam, jauh melampaui game-game AAA pada saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa gamer ingin bermain game yang menyenangkan, tidak mementingkan grafik yang super realistis, tidak ada unsur politik DEI, dan tentunya dengan harga yang terjangkau.
 
 
AAA Seharusnya Belajar dari Pelaku Indie
 
Studio-studio besar mulai menyadari bahwa kekuatan dari sebuah game tidak selalu datang dari skala produksi, melainkan dari keaslian ide dan hubungan emosional dengan playernya. Dalam beberapa tahun terakhir, tanda-tanda adaptasi ini mulai terlihat adanya konsep game-game yang sedikit diubah dari gaya naratif yang lebih personal hinga project-project yang berurukuran kecil mulai dikembangakn di bawah naungan perusahaan besar.
 
Beberapa publisher mulai membentuk sub studio yang berfokus pada project eksperimental, berusaha meniru fleksibilitas dan kebebasan yang dimiliki developer indie. Mereka berusaha mencoba menghadirkan semangat yang lebih hangat dan autentik, sesuatu yang mulai hilang dari game AAA.
 
Pertanyaannya, sejauh mana semangat indie ini bisa bertahan di industri yang padat oleh kepentingan finansial? Banyak project semi indie yang pada akhirnya masih harus tunduk pada stakeholders. Kreativitas sering kali hanya menjadi kosmetik, bukan transformasi sejati. Risiko yang diambil masih terstruktur, inovasi masih dibatasi oleh target penjualan.
 
Di sisi lain, hubungan antara dunia indie dan perusahaan besar tidak selalu kompetitif. Ada potensi kolaborasi yang saling menguntungkan, di mana studio besar dapat menyediakan infrastruktur dan distribusi, sementara developer kecil membawa ide segar dan keberanian untuk bereksperimen. Jika sinergi ini dijalankan dengan prinsip yang saling menghargai, maka industri ini bisa menemukan keseimbangan baru.
 
Ubisoft pernah menjalankan program untuk mendukung indie games, di mana terdapat bantuan finansial, dukungan publikasi, hingga mentoring. Namun, belum ada keterangan lebih lanjut tentang program ini, apakah akan konsisten dan berhasil? (sumber: Ubisoft)
 
 
Kreativitas adalah Hal yang Paling Utama
 
Kejenuhan yang melanda industri game AAA diharapkan bisa menjadi titik balik bagi seluruh ekosistem industri game. Developer indie membuktikan bahwa imajinasi itu masih hidup, bahkan tumbuh subur di ruang-ruang kecil yang terhimpit akan keramaian pasar. Inovasi tidak selalu membutuhkan ratusan juta dolar, melainkan keberanian untuk melangkah keluar dari kotak.
 
Banyak gamer yang mulai sadar bahwa grafik yang begitu realistis dan gameplay yang monoton akibat judul-judul besar yang terus dimilking, mereka akan lebih menghargai game yang lebih tulus untuk menghibur, kreatif, dan membangun relasi emosional antara player dengan game itu sendiri.
 
Seharusnya, industri besar merenung untuk mengambil langkah berikutnya, bukan goyah dengan tekanan stakeholder. Jika mereka berani gagal setelah mendapatkan ratusan juta dolar, seharusnya mereka juga berani gagal untuk bereksperimen dan percaya dengan kekuatan ide. Dunia game terlalu luas untuk diakuasai oleh satu formula, dan terlalu dinamis untuk dibekukan oleh rutinitas produksi.
 
Bagi fandom gaming, era ini adalah kesempatan emas. Teknologi publikasi semakin beragam dan luas, tools juga semakin banyak dan terjangkau, banyak gamer yang semakin terbuka untuk mendukung karya-karya yang tulus dan memiliki potensi.
 
Ketika kejenuhan menjadi wabah, kreativitas adalah obatnya.
 
Semoga artikel ini bermanfaat.
 
Dukung Saya di Trakteer
 
Bagi Anda yang suka dengan artikel-artikel yang saya buat, saya berharap Anda bisa mendukung saya melalui sedikit donasi untuk meningkatkan kualitas konten yang saya buat. Rencananya, saya ingin memiliki website sendiri. Apabila Anda berkenan, silakan klik gambar di bawah ini untuk menuju halaman donasi.

Comments