Polemik Game Upin & Ipin Universe



Dirilisnya game Upin & Ipin Universe menunjukkan sebagai game yang memiliki makna penting bagi industri game lokal Asia Tenggara, khususnya bagi gamer Malaysia. Tokoh Upin & Ipin yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan anak-anak bukan hanya sekadar sebuah hiburan semata, melainkan juga mencerminkan indentitas budaya Melayu yang telah berhasil menembus batas negara dan generasi.
 
Di Indonesia, tokoh ini menjadi begitu populer sehingga saat game ini dirilis terlihat hype yang terjadi di antara gamer dan netizen. Transisi dari tokoh animasi ke ranah game memicu ekspektasi yang besar, baik dari kalangan penggemarnya maupun para pelaku industri animasi dan game.
 
Keterlibatan studio ternama seperti Les' Copaque Production dan Streamline Studios terlihat begitu menjanjikan terutama dari trailer yang mereka tawarkan sebelumnya, terbayang bagaimana pengalaman bermain yang akan membuat banyak orang untuk berambisi menjelajah dunia Upin & Ipin, memainkan mini games, dan berbagai fitur lainnya yang dirancang untuk menjangkau segmen audience yang luas. Tidak hanya itu, game ini dirilis di berbagai platform seperti PC, PlayStation, dan Nintendo Switch yang mengindikasikan bahwa gam ini diposisikan sebagai produk berskala internasional.
 
Bagi banyak pihak, terutama masyarakat Indonesia yang tumbuh besar dengan tontonan Upin & Ipin, kemunculan game ini disambut dengan rasa optimisme. Meski bukan produk dalam negeri, solidaritas sebagai sesama bangsa Asia Tenggara menumbuhkan kebanggaan sendiri di antara polemik perseteruan antara masyarakat Indonesi dengan Malaysia di berbagai macam kasus. Harapannya, game Upin & Ipin Universe dapat menjadi representasi sukses game lokal yang mampu bersaing secara global, sekaligus membuka jalan bagi lebih banyak pengembang di kawasan ini untuk berani melangkah ke panggung dunia.
 
Tingginya ekspektasi tersebut justru menjadi kontras tajam dengan realitas yang dihadapi publik pasca dirilisnya game ini. Apa yang seharusnya menjadi kebanggaan bagi masyarakat Malaysia, lambat laun berubah menjadi sumber polemik dan perdebatan yang kompleks, baik dari sisi teknis maupun etis.
 
Screenshot game yang dirilis di website resmi mereka terlihat begitu menjanjikan, namun sayang ternyata tidak seindah kenyataan. (sumber: Upin & Ipin Universe)
 
 
Tentang Game Upin & Ipin Universe
 
Upin & Ipin Universe merupakan sebuah video game bertema petualangan dan eksplorasi yang mengangkat dunia karakter animasi populer asal Malaysiua, Upin & Ipin. Game ini dikembangkan sebagai project kolaboratif antara Les' Copaque Production, selaku pemilik IP (Intellectual Property) asli serial animasi Upin & Ipin, dan Streamline Studios, sebuah perusahaan developer game multinasional yang berbasis di Kuala Lumpur dan memiliki pengalaman dalam beberapa project berskala internasional. Dengan demikian, meskipun Les' Copaque tidak langsung mengembangkan gamenya secara teknis, mereka tetap terlibat sebagai pemegang lisensi dan pengarah konten kreatif.
 
Dari segi narasi, game ini mengajak player untuk menjelajahi dunia Upin & Ipin dalam format open world yang membentang luas, lengkap dengan karakter, lokasi, dan nuasam yang familiar dari serial animasinya. Player dapat mengendalikan karakter utama di dalam serangkaian misi ringan dan mini games yang bertujuan memperkenalkan kembali kekayaan lokal, nilai-nilai moral, serta elemen kehidupan kampung Durian Runtuh dalam bentuk interaktif.
 
Cerita game ini tidak memiliki satu alur naratif yang linear seperti pada game RPG konvensional, melainkan lebih berfokus pada open world yang bersifat santai dan eksploratif, terutama bagi anak-anak dan keluarga. Secara gameplay, Upin & Ipin Universe menggabunggkan beberapa genre permainan seperti petualangan, simulasi, dan permainan edukatif. Player dapat menjalankan aktivitas seperti mengendari sepeda, bermain sepak bola, menjelajah desa, memancing, berkebun, hingga mengikuti kompetisi dalam bentuk mini games.
 
Mode permainan dapat dilakukan secara single player maupun multiplayer online yang memungkinkan player untuk berinteraksi dengan pengguna lain di dunia nyata. Namun demikian, sejumlah ulasan menyebut bahwa mekanisme gameplay masih belum matang terutama dalam hal bug dan glitch yang masih sering dijumpai, variasi misi yang masih sangat monoton, hingga fitur-fitur yang masih belum lengkap.
 
Secara visual, game ini menggunakan pendekatan grafis 3D yang mencoba mereplikasi estetika animasi Upin & Ipin ke dalam bentuk interaktif. Walaupun secara desain karakter cukup familiar, kualitas rendering dan animasi dikritik kurang optimal, hal ini dikarenakan studio developer game tidak memegang aset utama dari studio animasi sehingga mereka harus membuat ulang desain karakter dan animasinya yang mana masih belum bisa mengikuti luwesnya animasi game dengan animasi aslinya.
 
Secara keseluruhan, Upin & Ipin Universe adalah project yang memiliki potensi besar sebagai representasi budaya digital dari Malaysia, namun realisasi teknisnya masih menghadapi berbagai tantangan serius. Kolaborasi antara pemilik IP animasi dan studuio game profesional memang menjanjikan secara konsep, namun tampaknya masih memerlukan pengelolaan yang lebih matang dalam aspek produksi dan optimasi.
 
Tidak ada story khusus, player hanya cukup bermain dan explore saja. (sumber: 168ada)
 
 
Harga Mahal dan Banyak Bug
 
Setelah dirilis secara resmi pada tanggal 17 Juli 2025, game Upin & Ipin Universe segera menjadi topik hangat di kalangan fandom gaming Indonesia dan Malaysia. Sayangnya, komentar yang diterima bukanlah dalam bentuk apresiasi terhadap kualitas maupun inovasi, melainkan kritik yang diarahkan pada sejumlah aspek mendasar dalam developing dan distribusi game ini.
 
Harapan yang semua begitu tinggi perlahan berubah menjadi kekecewaan, terutama setelah para gamer merasakan langsung pengalaman bermain yang jauh dari ekspektasi. Salah satu aspek yang paling banyak menuai kritik adalah harga game yang dinilai tidak sepadan dengan kualitas yang ditawarkan.
 
Di Indonesia, game ini dijual dengan harga berkisar Rp650.000 untuk versi PC dan Nintendo, sekitar Rp579.000 untuk versi PlayStation. Harga tersebut sejatinya sudah setara dengan judul-judul game AAA internasional yang dikenal memiliki development yang kompleks dan standar produksi tinggi. Dalam konteks lokal, angka ini sangat memberatkan, apalagi untuk sebuah game yang membawa embel-embel "karya Asia Tenggara" dan diharapkan menjadi jembatan antara idealisme lokal dan hiburan.
 
Kritik utama lainnya juga diarahkan pada permasalahan teknis di dalam game yang dianggap tidak layak dirilis. Gamer mempermasalahkan akan adanya berbagai macam bug dan glitch yang mengganggu jalannya permainan secara signifikan. Mulai dari performa grafis yang buruk, sistem kamera yang tidak stabil, hingga kontrol karakter yang terasa kaku dan tidak responsif. Bahkan pada perangkat dengan spesifikasi tinggi sekalipun, game ini kerap mengalami crash dan lag yang menandakan bahwa proses optimasi belum dilakukan secara menyeluruh.
 
Tidak hanya itu, secara gameplay, banyak player yang menilai bahwa game ini gagal memberikan pengalaman bermain yang mendalam. Beberapa mode gameplay terasa begitu repetitif dan desain level maupun progress system dianggap terlalu dangkal untuk mempertahankan minat player dalam jangka waktu panjang. Akibatnya, game ini tidak hanya mengalami penurunan jumlah player aktif dalam waktu yang sangat singkat, tetapi juga menerima begitu banyaknya review negatif yang mendominasi berbagai platform distribusi seperti di Steam.
 
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting, apakah game ini sengaja dirilis dalam kondisi terburu-buru demi mengejar momentum komersial tanpa mempertimbangkan kesiapan teknis dan kepuasan pengguna? Atau justru ada kekeliruan dalam penilaian internal mengenai standar kualitas yang seharusnya dipegang oleh sebuah game berlisensi internasional?
 
Pertanyaan tersebut menjadi pembuka bagi diskusi yang lebih luas dan mendalam mengenai tanggung jawab developer terhadap konsumen, serta bagaimana sebuah karya lokal seharusnya tidak hanya berpegang pada semangat nasionalisme, tetapi juga pada komitmen terhadap kualitas dan integritas produksi.
 
Ada begitu banyak bug dan glitch di dalam game, ditambah hal ini terus berulang yang membuat pengalaman bermain menjadi kurang menyenangkan. (sumber: Ganbaa Mecha)
 
Harga yang tidak sepadan dengan kualitasnya, dibandingkan dengan game-game AAA lainnya ditambah Upin & Ipin bukanlah IP yang besar dan pasarnya didominasi oleh Indonesia dan Malaysia itu sendiri.
 
 
Dari Antusias Menjadi Kecewa
 
Pada saat game Upin & Ipin Universe dirilis, banyak gamer yang menyambut dengan rasa ingin tahu dan harapan setelah melihat video trailernya, namun tidak butuh waktu lama mereka menghadapi kenyataan pahit berupa gempuran review negatif dan kritik dari player.
 
Di beberapa platform, mulai dari forum di internet, media sosial, hingga video-video di YouTube, banyak gamer menyampaikan kekecewaan mereka tentang gameplay yang dianggap jauh dari standar layak. Respon negatif ini tidak hanya datang dari player biasa, namun banyak juga yang datang dari para konten kreator dan YouTuber besar, salah satunya adalah Windah Basudara, seorang public figure dalam fandom gaming Indonesia yang dikenal pengaruhnya dalam mempopulerkan game indie maupun lokal.
 
Windah menajadi salah satu pihak yang cukup vokal dalam menyampaikan kritik pada game ini. Melalui livestreamnya, ia menunjukkan berbagai bug yang ia temui dan kekacauan teknis yang ia alami secara langsung. Bukan disengaja, namun bug dan kekacauan itu terjadi begitu saja sepanjang permainan. Sayangnya, insiden tersebut justru berkembang ke arah yang lebih kompleks, di mana video livestreamingnya mendapatkan klaim hak cipta otomatis akibat penggunaan musik dalam game sehingga monetisasi kontennya terblokir.
 
Tidak hanya itu, cuplikan dari gameplay Windah bahkan sempat digunakan oleh pihak developer sebagai materi promosi di media sosial tanpa izin dan tanpa mendapatkan kompensasi untuk Windah. Hal ini memicu kemarahan penggemarnya serta menimbulkan perdebatan luas terkait etika hubungan antara developer game dan konten kreator.
 
Di sisi lain, reaksi dari sebagian fandom gamer Malaysia cenderung defensif terhadap kritik yang diarahkan kepada game ini. Banyak pihak yang melihat komentar negatif sebagai bentuk penghinaan terhadap karya loal, bahkan menyamakan kritik dengan serangan terhadap identitas budaya nasional.
 
Sentimen ini tercermin dalam berbagai pernyataan publik seperti, "Kalau tidak suka, jangan main. Ini game kami, bukan untuk kalian." Pola pikir semacam ini memperlihatkan adanya resistensi terhadap kritik yang justru menghambat proses perbaikan dan evaluasi produk secara objektif.
 
Perbedaan persepsi antara fandom di Indonesia dan Malaysia memperlihatkan adanya ketegangan kultural yang belum selesai. Di satu sisi, ada semangat solidaritas regional dan dukungan terhadap produk lokal, namun di sisi lain muncul juga esklusivisme emosional yang menganggap segala bentuk masukan dari luar sebagai intervensi yang tidak sah. Sikap semacam ini berpotensi merugikan industri kreatif itu sendiri karena menutup pintu dialog yang konstruktif antara developer, player, dan fandom.
 
Reaksi publik terhadap Upin & Ipin Universe pada akhirnya mencerminkan realitas yang lebih luas bahwa industri hiburan digital yang semakin terbuka dan global, kualitas dan akuntanbilitas tetap menjadi tolak ukur utama, terlepas dari asal-usul atau muatan kultural suatu produk. Mengabaikan kritik bukanlah bentuk cinta terhadap karya lokal, melainkan bentuk ketidapedulian terhadap potensinya untuk berkembang.
 
Pernyataan dari Windah Basudara yang mengatakan bahwa video streaming miliknya terkena hak cipta karena musik dari game Upin & Ipin Universe.
 
Komentar akun resmi Upin & Ipin di Instagram yang memberikan kesan defensif ketimbang meminta maaf atas kualitas game yang buruk. Mereka seolah mengatakan kalau komentar negatif bisa membuat game semakin hancur, padahal seharusnya mereka bisa mengatakan akan segera memperbaiki kesalahan dan kelemahan yang ada di game.
 
 
Nama Studio yang Buruk di Mata Publik
 
Di balik reputasinya sebagai studio animasi ternama yang telah melahirkan icon budaya populer Upin & Ipin, Les' Copaque Production belakangan ini dihadapkan pada sorotan negatif yang menyangkut tata kelola internal dan kesejahteraan karyawannya. Sejumlah tuduhan yang beredar di media sosial dan forum di internet menyebutkan bahwa studio ini memiliki pola manajerial yang tidak sehat.
 
Beberapa mantan karyawan mengaku pernah mengalami berbagai bentuk ketidakadilan selama bekerja di perusahaan tersebut, termasuk keterlambatan pembayaran gaji, nominal gaji yang tidak sesuai dengan beban kerja, bonus yang tidak diberikan meskipun telah dijanjikan, serta ketentuan cuti dan jam kerja yang tidak jelas. Selain itu, praktik nepotisme juga dituding menjadi bagian dari budaya kerja di lingkungan internal studio yang pada akhirnya menghambat profesionalisme dan meritokrasi (bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan).
 
Salah satu puncak dari perbincangan publik muncul melalui sebuah episode podcast yang beredar luas, di mana narasumbernya diduga merupakan mantan-mantan karyawan Les' Copaque Production sendiri. Dalam podcast tersebut, mereka membagikan pengalaman pribadi terkait berbagai dinamika negatif yang terjadi di balik layar perusahaan.
 
Meskipun beberapa pihak menilai bahwa membahas masalah kantor secara terbuka adalah tindakan yang tidak etis, banyak pendengar justru mengapresiasi keberanian narasumber dalam mengungkapkan praktik yang selama ini tersembunyi dari perhatian publik.
 
Menanggapi gelombang kritik tersebut, petinggi Les' Copaque Production akhirnya mengeluarkan pernyataan di media sosialnya yang menyebut bahwa semua tudingan dan isi podcast tersebut adalah fitnah yang tidak berdasar. Namun yang menarik, dalam klarifikasi yang sama, mereka juga menyebutkan bahwa para pembicara podcast hanyalah mantan karyawan yang tidak becus bekerja dan hanya sekumpulan orang yang iri terhadap kesuksesan perusahaan.
 
Alih-alih meredam konflik, pernyataan tersebut justru memperkuat dugaan publik akan adanya masalah sistemik di tubuh perusahaan. Netizen menilai bahwa respon yang bersifat menyerang pribadi dan menghindari substansi permasalahan adalah indikasi bahwa kritik tersebut memiliki dasar yang perlu dielidiki lebih jauh.
 
Kisah ini membuka ruang relfeksi bahwa keberhasilan studio animasi tidak semestinya hanya dinilai dari popularitas animasi yang dihasilkan, melainkan juga dari bagaimana perusahaan meperlakukan sumber daya manusianya secara adil dan bermatabat. Dalam industri kreatif, reputasi internal sama pentingnya dengan pencapaian eksternal dan kredibilitas hanya akan tumbuh jika perusahaan berani membangun budaya kerja yang sehat, terbuka terhadap evaluasi, serta menjunjung tinggi nilai profesionalisme.
 
Podcast yang membicarakan keburukan perusahaan di channel YouTube official mereka sendiri, menunjukkan bahwa ini adalah sebuah blunder yang mungkin saja dibuat untuk gimmick marketing. (sumber: Les' Copaque Production)
 
Bos perusahaan membantah tudingan polemik internal perusahaan mereka sambil posting foto di samping mobil mewahnya melalui akun media sosial miliknya. Hal ini bisa menunjukkan arogansi dan menganggap enteng permasalahan tersebut. Netizen menjadi semakin kesal karena dianggap tidak memiliki empati. (sumber: /dummypod)
 
Pemilik Les' Copaque Production mengkritisi dialog animasi anak-anak di Indonesia memakai percakapan dewasa, hal ini jelas dibantah oleh netizen Indonesia dan mengatakan bahwa banyak dialog di animasi Upin & Ipin juga memakai dialog dewasa. Tidak ada standar khusus masalah kedewasaan yang dimaksud, sehingga sebenarnya ini adalah fitnah dan blunder. (sumber: /bilikmasak
 
Ketika Kritik Dianggap Penghinaan
 
Salah satu dinamika yang paling mencolok yang menyertai polemik game Upin & Ipin Universe adalah bagaimana sebagian fandom, terutama dari negara Malaysia, merespon kritik yang datang dari Indonesia. Alih-alih menanggapi dengan sikap terbuka terhadap masukan yang bersifat konstruktif, banyak yang justru memandang kritik tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap produk lokal dan sebagai serangan terhadap identitas nasional mereka.
 
Fenomena ini memperlihatkan gejala emosional kolektif yang kerap muncul dalam konteks produk budaya lokal yang memperoleh eksposur internasional. Dalam hal ini, Upin & Ipin Universe bukan sekadar karakter fiksi, mereka telah menjadi simbol kebanggaan nasional yang pencapaian industri kreatif Malaysia. Maka ketika video yang mengusung nama besar tersebut dikritik hab-habisan karena kualitasnya, reaksi defensif pun muncul dengan sangat kuat.
 
Banyak pernyataan di media sosial yang bernada seperti, "Kalau tidak suka, jangan main. Ini game kami, bukan untuk kalian." atau bahkan "Kalian hanya iri karena negara kami bisa membuat game sendiri. Indonesia ngga bisa membuat game."
 
Sikap semacam ini berpotensi kontraproduktif. Dalam industri kreatif yang sifatnya lintas negara dan linta budaya, kritik dari pengguna (terlepas dari apa pun latar belakang kebangsaannya) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran dan perbaikan. Menyikap kritik sebagai bentuk kebencian hanya akan menutup pintu dialog dan menghambar pertumbuhan kualitas produk di masa mendatang.
 
Lebih jauh lagi, pendekatan emosional dalam membela karya lokal dapat menciptakan ilusi bahwa semua bentuk dukungan harus disampaikan secara membabi buta, padahal kritik yang jujur justru merupakan bentuk kepedulian yang paling tulus.
 
Di sisi lain, perlu diakui bahwa kritik dari luar negeri juga sebaiknya disampaikan dengan penuh tanggung jawab dan empati budaya. kritik yang disampaikan secara sarkastik atau bernada merendahkan berisiko memperkuat tembok emosional yang sudah terbentuk. Oleh karena itu, keberhasilan komunikasi dua arah antara developer dan fandom sangat bergantung pada kematangan kedua belah pihak, baik dalam memberikan masukan maupun menerimanya.
 
Dalam konteks game Upin & Ipin Universe, pembelaan emosional yang berlebihan justru mengaburkan masalah substansial yang perlu diselesaikan. Alih-alih memperkuat posisi game ini di pasar internasional, reaksi semacam itu malah memperkecil peluang dialog terbua yang bisa mendorong perbaikan. Jika game ini benar-benar dimaksudkan sebagai kebanggaan regional, maka ia seharusnya bisa berdiri di atas pijakan kualitas yang objektif, bukan hanya sentimen nasionalisme.
 
Beberapa kumpulan komentar netizen Malaysia di media sosial yang tidak terima game buatan dari negaranya mendapatkan kritik tajam, bahkan beberapa di antara mereka yang menganggap bahwa kritik itu adalah sebuah serangan. 
 
Developer dan Netizen Malaysia: Tolong Perbaiki Diri
 
Upin & Ipin Universe pada dasarnya memiliki semua potensi untuk menjadi game penting dalam sejarah industri game di Asia Tenggara, terutama dari Malaysia. Ia lahir dari IP animasi yang sudah terbukti keberhasilannya, didukung oleh studio dengan rekam jejang panjang, serta memiliki modal sosial yang besar di kawasan regional. Namun, alih-alih menjadi simbol kemajuan, game ini justri memicu rangkaian polemik dari banyak sisi terutama pada teknis produk dan dari internalnya sendiri.
 
Kritik terhadap game ini tidak muncul dari ruang hampa, namun ia lahir dari akumulasi kekecewaan terhadap manajemen project yang dianggap buruk, penanganan konten kreator yang merugikan, hingga isu yang lebih dalam dengan dugaan eksesifnya manajemen internal di perusahaan Les' Copaque Production. Isu-isu seperti gaji yang terlambat, praktik nepotisme, ketidakjelasan hak karyawan, hingga respon defensif yang disampaikan secara publik menunjukkan bahwa ada persoalan budaya perusahaan yang belum sehat.
 
Ketika kritik muncul dari mantan karyawan melalui sebuah podcast, perusahaan bukannya melakukan introspeksi diri atau klarifikasi objektif, melainkan justru menyerang karakter individu dengan menyebut mereka 'tidak becus' dan 'iri atas kesuksesan kantor'.
 
Respon semacam itu mencerminkan budaya antikritik yang sangat berbahaya bagi organisasi maupun perusahaan manapun, apalagi di industri kreatif yang sejatinya menuntut transparansi, kolaborasi, dan pertumbuhan berkelanjutan. Menolak kritik dengan narasi personalisasi, alih-alih menyikapi substansinya, hanya akan memperkuat persepsi bahwa masalah tersebut memang benar adanya. Lebih buruk lagi, hal ini dapat menciptaan preseden negatif di mana suara-suara internal yang mencoba berbicara jujur malah dibungkan atau didiskreditkan.
 
Kebanggaan terhadap produk lokal adalah sesuatu yang wajar dan bahkan penting. Namun kebanggaan yang sehat tidak pernah bertentangan dengan keterbukaan terhadap kritik. Justru dari kritiklah kualitas dapat ditingkatkan, kelemahan bisa diperbaiki, dan kepercayaan publik dapat dibangun kembali.
 
Jika perusahaan seperti Les' Copaque Production benar-benar ingin membawa IP mereka ke level global, maka mereka harus bersedia mengadopsi standar global juga, bukan hanya dalam hal produksi tapi juga dalam cara mereka menangani masalah internal, citra publik, dan social responsibility sebagai pelaku industri kreatif.
 
Pada akhirnya, membela karya lokal bukan berarti membenarkan segala kekeliruannya. Nasionalisme yang bijak bukanlah membungkam kritik, melainkan menjadikannya bahan bakar untuk tumbuh. Karena hanya melalui ruang evaluasi yang jujur dan iklusif, industri game bisa melahirkan karya yang bukan hanya membanggakan secara simbolik, tapi juga berkualitas secara substansi.
 
Semoga artikel ini bermanfaat.
 
Dukung Saya di Trakteer
 
Bagi Anda yang suka dengan artikel-artikel yang saya buat, saya berharap Anda bisa mendukung saya melalui sedikit donasi untuk meningkatkan kualitas konten yang saya buat. Rencananya, saya ingin memiliki website sendiri. Apabila Anda berkenan, silakan klik gambar di bawah ini untuk menuju halaman donasi.

Comments