Ketika Dustborn dirilis, banyak gamer yang sudah memberikan citra buruk terhadap game ini. Premisnya sudah ditebak kalau ini adalah game yang bermuatan dengan ideologi DEI (Diversity, Equity, and Inclusion) yang dibuat oleh kaum woke, bercerita tentang sebuah perjalanan lintas Amerika yang melawan seseorang yang berkuasa dan semangat kebersamaan. Semua terasa mudah ditebak seperti apa konten di dalam gamenya dan bagaiman gameplaynya.
Benar saja, banyak gamer yang tertawa-tawa pada akhirnya melihat gameplay dari Dustborn. Narasi yang ada di dalam game ini lebih seperti sebuah ceramah politik daripada kisah yang bisa dinikmati, desain karakter yang terlalu aneh, dan gameplay yang sangat flat. Player yang memainkan game ini akan terus-menerus dibombardir dengan pesan moral tentang DEI.
Kegagalan Dustborn menjadi simbol dari fenomena yang makin sering terjadi di industri game modern, di mana ambisi ideologis yang menelan esensi hiburan itu sendiri. Banyak developer yang terlalu fokus pada bagaimana game mereka bisa mewakili sesuatu secara sosial atau politik, namun mereka sering melupakan hal yang sederhana, yakni game itu harus menyenangkan untuk dimainkan. Ketika elemen ideologi mendominasi, gameplay menjadi korban pertama.
Dustborn masuk ke dalam game terburuk 2024 oleh The Real Game Awards. (sumber: RealGameAwards)
Ambisi Naratif yang Terjebak dalam Agenda
Secara konsep, Dustborn ingin menjadi game dengan memiliki dialog yang kuat, namun idealisme itu justru menjadi boomerang terbesar. Alih-alih membangun game yang kompleks dan karakter yang tumbuh secara alami, narasinya terasa seperti hasil dari rapat ideologis yang ingin memastikan setiap kalimat memiliki makna tersembunyi. Cerita yang seharusnya menggugah justru hilang dan terasa sangat aneh karena terlalu sibuk menjadi semiotik.
Dustborn mungkin ingin membahas masalah sosial, seperti diskriminasi, keberagaman, dan perjuangan identitas yang diangkat ke dalam game. Masalahya, gmae ini tidak memberi ruang bagi player untuk menafsirkannya sendiri. Setiap momen terasa diarahkan untuk menyampaikan pesan yang cringe, bahwa dunia penuh dengan ketidakadilan dan hanya ada satu sudut pandang yang benar menurut mereka. Alih-alih membuat player peduli, malah terkesan seperti memaksa player untuk ikut setuju.
Seharusnya, Dustborn dibuat untuk meningkatkan emosional yang lahir dari simpati, bukan doktrin. Ketika karakter bicara, yang terdengar bukanlah suara dari karakter tersebut, melainkan developer atau orang-orang yang ada di belakang layar yang ingin menyampaikan agenda. Padahal daya tarik game story driven selalu terletak pada hubungan organik antara player dan karakter di dalam game, seperti sebuah chemistry yang tumbuh lewat pilihan dialog.
Salah satu dialog yang cringe ketika battle, di mana musuh menyerang mereka dan karakter utamanya mengatakan "Kalian yang menyerang (meragukan diri sendiri, ingatan, dan persepsi mereka tentang realitas) kami. Kalian yang menyerang duluan." Kalimat tersebut seperti menyinggung realita yang terjadi antara kaum woke yang tersudutkan oleh orang normal.
Gameplay Dangkal dan Tidak Seimbang
Permasalahan game ini tidak terletak hanya pada narasi saja, tetapi juga gameplaynya yang kurang menyenangkan. Eksplorasi yang terbatas, battle yang tidak memiliki kesan, dan kekuatan kata-kata yang dibuat sebagai senjata seperti sebuah gimmick yang dibuat setengah matang. Meskipun sebenarnya game ini terlihat cerdas karena unsur semiotiknya, namun terasa begitu hambar seperti menonton cutscene yang panjang tanpa ada keterlibatan player lebih lanjut.
Kebanyakan kritik berasal dari player Dustborn itu sendiri, mereka mengatakan bahwa mereka tidak merasa sedang bermain game. Dustborn lebih tepat dibilang interactive lecture ketimbang video game. Developer terkesan berkata "Lupakan gamenya, fokuslah pada pesan yang ingin kami sampaikan."
Ini adalah kesalahan fatal dalam membuat dan mempublikasi sebuah game, di mana keseimbangan cerita dan interativitas dilupakan. Gameplay bukan sekadar pelengkap, namun menjadi sarana utama agar pesan dan emosi terasa otentik. Ketika aspek-aspek tersebut diabaikan, pengalaman bermain pun runtuh dan Dustborn adalah bukti nyata bagaimana ide besar tanpa fondasi mekanik hanya akan menghasilkan game yang kehilangan jiwanya.
Banyak yang bertanya-tanya, kenapa game Dustborn bisa dibuat dan dinikmati? Jika Anda memang tidak peduli terhadap politik DEI, mungkin saja Anda bisa menikmatinya.
Representasi vs Eksploitasi Identitas
Nilai jual dari game Dustborn terletak pada unsur keberagaman identitasnya. Karakter-karakter dari latar belakang yang berbeda ditampilkan seolah menjadi bukti bahwa dunia game kini lebih terbuka terhadap berbagai identitas. Namun, di sinilah muncul paradoks besar, di mana representasi yang seharusnya memperkaya cerita malah terasa tidak alami seperti dari list orang-orang yang ingin ditunjukkan sejak lama agar game terasa seperti inklusif.
Keberagaman seharusnya hadir sebagai konsekuensi alami dari dunia dan karakter yang hidup, bukan sebagai pencapaian moral yang dipajang di depan layar. Dalam game Dustborn, setiap tokoh dirancang untuk mewakili kategori sosial tertentu, bukan untuk menjalani perjalanan emosional yang autentik. Player tidak melihat manusia dengan batin yang nyata, melainkan semiotik ideologis yang berbicara sesuai script.
Akibatnya, alih-alih progresif, Dustborn justru terjebak dalam eksploitasi identitas yang menggunakan keberagaman bukan untuk memperluas pemahaman melainkan untuk memaksakan cerita. Banyak gamer yang merasakan bahwa game ini lebih sibuk memvalidasi identitas karakter daripada mengembangkan hubungan antara mereka. Representasi semacam ini kehilangan makna karena tidak lagi berbicara tentang manusia, melainkan tentang branding sebuah politik.
Ironisnya, pesan tentang empati dan persatuan yang coba disampaikan malah berbalik arah. Player merasa tidak diajak memahami, melainkan dipaksa menerima tanpa ruang refleksi. Represntasi menjadi kehilangan kekuatannya ketika ia berhenti menjadi ekspresi jujur dan berubah menjadi alat legitimasi. Dustborn ingin tampak berani, tapi akhirnya hanya terdengar seperti kampanye yang lupa audience utamanya, yakni para gamer.
Developer Dustborn dipenuhi oleh kaum woke yang menganut DEI sehingga mereka paling benci dengan karakter yang sexy dan menarik secara visual, namun mereka menyukai pria kekar dan karakter non binary sexy. Standar ganda yang tidak jelas. (sumber: Cyael)
Booth Dustborn terlihat tidak ada yang mau mengunjungi di Tokyo Game Show, hal ini dikarenakan gamer mengetahui bahwa game Dustborn dipenuhi oleh politik mengatasnamakan kesetaraan. (sumber: Perma Banned)
Ketika Woke Fatigue Menjadi Nyata
Kegagalan Dustborn merupakan sebuah fenomela dari sesuatu yang sedang terjadi di industri game modern, yaitu sebuah kelelahan budaya DEI atau biasa disebut sebagai woke fatigue. Fenomena ini muncul ketika banyak orang yang sudah jenuh dengan produk-produk yang terlalu sibuk menonjolkan pesan sosial hingga mengorbankan kualitas hiburan itu sendiri.
Beberapa tahun belakangan, banyak perusahaan di berbagai industri tampak terlalu terobsesi membangun citra kesadaran sosial. Tujuannya mungkin baik dengan menciptakan dunia yang lebih inklusif, tapi dalam praktiknya sering berujung pada pola yang sama, yakni pesan dahulu, kualitas belakangan. Hasilnya sudah dapat dilihat kalau muncul rasa sinis di kalangan gamer yang merasa karya-karya seperti ini tidak lagi dibuat untuk mereka, melainkan untuk memenuhi ekspektasi media, investor, atau tren sosial yang sedang populer. Lalu, apakah Dustborn menjadi salah satu korban atau mungkin ia ingin menjadi trendsetter?
Fenomena ini menimbulkan efek boomerang, ketika pesan sosial disampaikan dengan cara yang terlalu memaksakan justru muncul resistensi terhadap nilai-nilai yang ingin disebarkan. Bukan karena gamer menolak keberagaman, tetapi karena mereka menolak disuapi narasi tunggal yang kaku. Gamer modern lebih menghargai pengalamn yang jujur, di mana nilai-nilai muncul secara organik lewat cerita, bukan lewat pidato moral yang dikemas oleh game.
Industri game seharusnya belajar dari kegagalan ini. Representasi dan keberagaman memang penting, tapi bukan berarti seluruh desain harus tunduk pada agenda sosial tertentu. Karya yang kuat selalu lahir dari keseimbangan antara pesan dan pengalaman. Ketika keseimbangan itu hilang, hasilnya bukanlah game yang menginspirasi, melainkan game yang melelahkan (baik untuk playernya maupun untuk developernya).
Banyak perusahaan, developer, dan publisher yang tahu akan kesalahan mereka, namun mereka tetap bersikeras untuk terus memaksakan produk seperti ini. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang terus-menerus menyalahkan gamer yang menuduh kalau mereka menyebabkan kegagalan game Dustborn dan sejenisnya.
Game-game 'terburuk' yang selalu mengedepankan DEI biasanya akan diberikan nilai bagus oleh para jurnalis media mainstream, tidak heran pemberitaan mereka selalu bias. Meskipun di sini Dustborn diberikan nilai yang tidak terlalu tinggi, tapi gamer sudah lelah dengan keberadaan mereka. (sumber: SmashJT)
Pelajaran yang Bisa Diambil
Dustborn telah menjadi sebuah sejarah yang bisa membuat jarak antara gamer dengan developer. Representasi yang dihadirkan di dalamnya tidak cukup hanya dengan menampilkan di layar, seharusnya ia diwujudkan melalui desainm karakter yang manusia, dialog yang natural, konflik yang jujur, dan dunia yang terasa nyata. Sesuai dengan kutipan kata "Show, don't tell."
Industri game kini sering terjebak pada upaya menjadi 'benar secara ideologis', namun lupa bahwa seni interaktif memiliki tujuan yang lebih dalam, yaitu menghubungkan manusia melalui pengalaman. Semoga banyak developer, perusahaan, dan orang-orang terkait benar-benar bisa belajar dari kesalahan mereka, bukan menyalahkan gamer.
Semoga artikel ini bermanfaat.
Dukung Saya di Trakteer
Bagi Anda yang suka dengan artikel-artikel yang saya buat, saya berharap Anda bisa mendukung saya melalui sedikit donasi untuk meningkatkan kualitas konten yang saya buat. Rencananya, saya ingin memiliki website sendiri. Apabila Anda berkenan, silakan klik gambar di bawah ini untuk menuju halaman donasi.
Bagi Anda yang suka dengan artikel-artikel yang saya buat, saya berharap Anda bisa mendukung saya melalui sedikit donasi untuk meningkatkan kualitas konten yang saya buat. Rencananya, saya ingin memiliki website sendiri. Apabila Anda berkenan, silakan klik gambar di bawah ini untuk menuju halaman donasi.


.png)
-down.png)
.png)
.png)

Comments
Post a Comment