Sejarah Gamergate: Sebuah Kontroversi yang Memecah-belah Gamer



Beberapa tahun lalu, tepatnya pada tahun 2014, dunia game diguncang oleh sebuah peristiwa yang awalnya nampak sepele namun dengan cepat berubah menjadi sebuah badai global. Ribuan player, jurnalis, dan aktivis saling berhadapan dalam perang opini di berbagai forum online, media sosial, hingga ruang redaksi media game. Fenomena ini kemudian dikenal dengan nama Gamergate, sebuah istilah yang kini lebih dari sekadar hashtag karena ia menjadi simbol dari perpecahan budaya.
 
Sekilas Gamergate ini hanyalah sebuah perdebatan etika jurnalisme di industri game, namun di balik istilah tersebut tersimpan ketegangan yang jauh lebih dalam antara pertarungan dua paradigma. Di satu sisi komunitas gamer merasa dunia mereka sedang diinvasi oleh agenda sosial dan politik, di sisi laln ada kelompok yang menuntut iklusivitas dan representasi gender yang lebih adil dalam industri game. Konflik ini bukan hanya tentang game belaka, melainkan tentang siapa yang berhak mendefinisikan identitas gamer itu sendiri.
 
Gelombang kebencian yang muncul selama peristiwa itu memperlihatkan sisi gelap dari kebebasan berekspresi di internet. Perempuan yang bersuara tentang seksisme dalam industri game menjadi sasaran kemarahan gamer. Dunia maya yang semula diangap sebagai ruang terbuka bagi kreativitas telah berubah menjadi arena pertarungan ideologi dan kekuasaan.
 
Lebih dari satu dekade kemudian, bayangan Gamergate masih terasa dalam industri game. Pola polarisasi, disinformasi, dan kekerasan berbasis gender yang merebak kala itu kini menjadi ciri khas dari banyak perdebatan di sisi politik hinga hiburan.
 
Jika Anda melihat di internet dan mencari tentang Gamergate, semuanya mencoba menampilkan mana yang benar dan yang salah. Perlu diketahui, benar atau salah tergantung pada di mana Anda berada, apakah Anda di sisi gamer atau jurnalis dan aktivis. Gambar ini bisa saja salah namun bisa juga benar tergantung perspektif Anda, meskipun di sini dicap salah oleh usernya. (sumber gambar: Reddit) 
 
 
Asal-Usul Gamergate, Berawal dari Forum hingga ke Movement Global
 
Semua bermula pada sekitar bulan Agustus tahun 2014, ketika seorang developer game indie bernama Zoe Quinn menjadi pusat perhatian publik setelah mantan kekasihnya menulis sebuah postingan panjang di blog pribadi. Tulisan itu menuduh Quinn memiliki hubungan pribadi dengan seorang jurnalis game, tuduhan yang kemudian digunakan untuk menyerang kredibilitasnya. Postingan tersebut dengan cepat menyebar ke berbagai forum di internet, seperti 4chan, Reddit, hingga Twitter.
 
Banyak gamer yang senang membicarakannya hanya karena adanya sebuah drama, bukan karena masalah lain. Namun, Quinn dibela oleh para jurnalis sehinga mereka melakukan framing terhadap gamer dan orang-orang di internet. Jurnalis mengklaim bahwa gamer dan komunitas forum adalah orang-orang brengsek, sexist, dan misoginis yang gemar menghina dan memojokkan orang lain, sehingga hal seperti ini memicu kemarahan global. Quinn menerima ancaman, doxing, dan pelecehan via internet yang membabi buta karena merasa bahwa semua permasalahan berawal dari dia.
 
Jadi, Gamergate dimulai ketika jurnalis bereaksi terhadap gamer atau orang-orang di internet yang membicarakan drama Zoe Quinn. Jurnalislah yang memulai api karena melakukan framming dan melabeli orang-orang tersebut dengan tuduhan yang tidak sebagaimana mestinya. Media dan jurnalis melakukan SJW (Social Justice Warrior) dan gamer bersatu untuk membantah itu semua. Di sinilah perang budaya bersejarah terjadi.
 
"Gamergate adalah sebuah reaksi di mana sebuah industri melabeli pasarnya sebagai kaum seksisme, misoginis, dan brengsek."
 
Tidak lama kemudian, nama-nama lain seperti Anita Sarkeesian dan Brianna Wu ikut terseret. Mereka berdua adalah perempuan yang vokal menyuarakan isu representasi gender dalam video game. Ketiganya menjadi simbol dari sisi paling gelap dari kultur online tentang bagaimana kemarahan massal dapat dengan mudah berubah menjadi teror.
 
Hashtag #Gamergate sendiri diciptakan oleh seorang aktor Hollywood bernama Adam Baldwin di Twitter, dan dalam waktu singkat hashtag tersebut berkembang menjadi sebuah movement global. Hashtag ini digunakan untuk mempertanyakan etika jurnalis media dan melawan feminisme.
 
Zoe Quinn menjadi pusat perhatian dan dicap sebagai revolusioner di industri game. Ia adalah salah seorang yang berperan besar dalam menyebarkan paham DEI dan woke nantinya. (sumber gambar: Vox)
 
 
Di Balik "Etika Jurnalistik"
 
Banyak orang yang menganggap media game telah kehilangan objektivitas karena terlalu akrab dengan developer, terutama yang membawa isu sosial dan gender. Namun, di balik retorika transparansi dan integritas media, tersimpan ketegangan yang jauh lebih dalam yakni ketakutan terhadap perubahan budaya yang sedang terjadi di industri game.
 
Ini dimulai ketika awal tahun 2010, di mana industri game mulai bergerak ke arah yang lebih beragam. Muncul gelombang baru game indie yang tidak lagi membuat game semata-mata untuk hiburan, tetapi juga untuk menekankan story, eksperimen, bahkan menyuarakan isu sosial. Game seperti Depression Quest karya Zoe Quinn atau analisis gender dalam Tropes vs Women in Video Games oleh Anita Sarkeesian membuat ruang diskusi baru tentang video game bisa menjadi media ekspresi dan bukan hanya untuk hiburan para lelaki. Namun, sebagian orang justru mempertanyakan 'memangnya mereka main game apa sampai menuduh video game hanya untuk lelaki?'
 
Narasi tersebut mereka buat tentang budaya eksklusif dan maskulin sehingga dengan mudah menyebar bahwa game bukan hanya untuk lelaki saja. Narasi ini dikibarkan dengan framing etika jurnalisme yang salah, karena banyak yang tidak sadar bahwa perdebatan itu sebenarnya telah bergeser menjadi perang ideologi. Isu tentang integritas media menjadi wadah bagi perlawanan feminisme, iklusivitas, dan representasi baru dalam game. Forum-forum anonim menjadi tempat lahirnya propaganda yang lebih terorganisir, memelintir isu etika menjadi serangan terhadap agenda sayap kiri dan SJW.
 
Selama bertahun-tahun gamer selalu menganggp bahwa politik di dalam industri game itu ada, namun mereka menolak anggapan ini dan berpikir bahwa game itu netral. Konflik Gamergate membuktikan kalau industri game tidak pernah netrak, hanya saja kejadian ini membuat sadar banyak orang. Kehadiran paradigma politik yang baru akan mengancam fondasi identitas yang telah lama terbentuk, seperti desain karakter yang lurus sebagaimana pria dan wanita, kini dibentuk oleh kaum woke yang membuat karakter gay dan lesbian.
 
Gamergate sampai saat ini masih menjadi perdebatan tentang sebuah etika jurnalistik yang mendefinisikan budaya gamer. Sayangnya, banyak media yang dipegang oleh para penguasa kepentingan sehingga siapa yang paling lantang maka akan semakin mempengaruhi, bukan siapa yang paling rasional.
 
Diketahui ada bot bernama Eliza yang bertugas untuk meladeni semua obloran yang menyangkut Gamergate, hal ini untuk menguras energi orang-orang agar melakukan debat tidak berguna. Bot ini selalu hanya memberikan pertanyaan bukan sebuah argumen. Tindakan ini menjadi bercabang, antara mereka yang bersedia untuk memberitahukan apa itu Gamergate sesungguhnya dan apa itu Gamergate dari sudut pandang pemilik kepentingan. Semua orang menjadi bingung untuk menentukan mana yang benar dan salah akibat perdebatan Gamergate. (sumber: TheNewStatesman)
 
 
Politik Gender dan Toxicity
 
Di tengah hiruk pikuk perdebatan Gamergate, satu hal menjadi jelas, yakni perempuan menjadi pembahasan utama. Tuduhan yang awalnya diarahkan pada Zoe Quinn dengan cepat berubah menjadi hate speech terhadap gamer yang menolak dicap sebagai seksisme. Orang-orang yang tidak terima gamer dituduh demikian, mereka melakukan perlawanan dengan tidak hanya berdebat, namun juga melakukan doxing, ancaman pembunuhan, hingga mencoba mengusir mereka dari forum dan media sosial.
 
Anita Sarkeesian, seorang kritikus budaya yang paling menonjol pada saat itu, menganalisa representasi perempuan dalam video game. Melalui Tropes vs Women in Video Games, ia mengupas bagaimana game sering menggambarkan perempuan sebagai objek pasif atau sekadar penghias backgroudn. Namun kritik ini malah memicu diskusi konstruktif melabeli gamer sebagai misoginis. Anita sampai membatalkan sejumlah pertemuannya karena banyaknya ancaman dan begitu juga dengan Brianna Wu yang terpaksa meninggalkan rumahnya karena ancaman keselamatan.
 
Namun, gamer seringkali dituduh sebagai retorika kebebasan berekspresi yang dibungkus oleh kekerasan. Banyak yang menolak sensor di dalam game dan dianggap sebagai pelaku pelecehan. Lucunya, mereka tidak berbicara tentang karakter pria atau pakaian pria yang setengah telanjang maupun telanjang penuh. Mereka seakan membiarkan dan memperbolehkan adegan intim gay di dalam video game sebagai kebebasan berekspresi. Sungguh double standard, menyudutkan wanita sebagai korban yang meninggalkan trauma mendalam, namun tidak ada yang berbicara tentang kekerasan yang dialami oleh kaum pria di industri game.
 
Tropes vs Women in Video Games yang dibuat oleh Anita Sarkeesian di YouTube, total ada sekitar 17 video. Ia berbicara tentang wanita yang menjadi objek seksualitas dan menempatkan wanita sebagai korban di industri game. Namun, ia berbicara hanya sepihak saja, ia tidak berbicara dan seakan masa bodo dengan kekerasan yang dialami pria juga.
 
Brianna Wu yang juga aktif menjadi aktivis feminisme, ia terus-menerus menyebarkan ideologi dan paradigmanya tentang wokeism dan DEI. 
 
 
Dampak Politik dan Budaya Setelahnya
 
Ketika perdebatan semakin memudar, dampaknya mulai dirasakan oleh banyak orang dan banyak pihak. Radikalisasi yang awalnya disuarakan, kini semakin terasa kental dan banyak pihak yang terbagi menjadi pro Gamergate dan anti Gamergate.
 
Berbagai forum online dengan narasi menjelek-jelekkan gamer berubah menjadi ideologi perlawanan yang lebih luas terhadap apa yang disebut political correctness. Banyak orang yang tertarik pada wacana yang sama di ranah politik, terutama pada gerakan sayap kanan yang menolak feminisme, DEI (Diversity Equity Inclusion), dan mainstream media.
 
Kejadian Gamergate ini mengubah pandangan dunia akan kekuasaan media dan media sosial dapat menjadi wadah untuk eksperimen sosial besar-besaran. Ini adalah salah satu peristiwa pertama yang membuktikan bagaimana algoritma dapat digunakan untuk membentuk opini publik dan memicu gerakan konflik.
 
Di industri game, telah banyak perusahaan atau developer yang ikut merasakan dampaknya. Ada yang dipaksa untuk mengikuti politik DEI oleh kaum feminisme dengan alasan kesetaraan dan humanisme. Mereka yang tidak mau mengikuti politik DEI akan dikenakan sanksi sosial oleh sekelompk orang atau lembaga, mulai dari pemberitaan yang buruk, sanksi tidak mengikuti hukum yang berlaku di suatu negara, hingga tidak diperbolehkan menjual gamenya di negara tersebut. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa setiap perusahaan di semua industri wajib memberikan kursi minimal 35% untuk kaum woke. Akibatnya, banyak game yang berubah desain, cerita, hingga gameplaynya.
 
Sebuah meme yang menyinggung keras bagaimana aktivis feminisme dan kaum woke mempengaruhi industri game, salah satunya desain karakter wanita yang seharusnya menarik perhatian gamer malah menjadi sosok yang menyeramkan dan tidak enak dipandang.
 
Dustborn adalah salah satu game yang dibuat oleh para aktivis, di mana game ini sangatlah buruk dari sisi desain, story, hingga gameplay. Banyak sekali dialog yang hanya mementingkan ideologi DEI ketimbang story yang bisa menyentuh gamer. Lucunya, ketika game ini gagal di pasar, yang disalahkan adalah gamer. 
 
 
Refleksi Gamergate sebagai Penutup
 
Gamergate dapat diartikan menjadi dua hal, tergantung bagaimana Anda menempatkan sudut pandang yang seharusnya Anda yakini. Gamergate bagi gamer, adalah sebuah label yang diberikan untuk media dan aktivis yang memaksakan ideologi dan paradigma feminisme dan kesetaraan gender. Sedangkan Gamergate bagi media dan aktivis, adalah sebuah label untuk gamer yang menolak kesetaraan dan perlindungan perempuan dengan mencap mereka sebagai misoginis dan sexism.
 
Kejadian ini mengajarkan bahwa budaya tidak bisa dipisahkan dari politik dan representasi bukan sekadar simbol, melainkan soal siapa yang ingin eksis. Menyentuh dunia yang hampir tidak pernah disentuh oleh politik menjadikan konflik sebagai senjata untuk menggiring opini, di mana dunia game hampir tidak pernah disentuh oleh politik dan banyak gamer yang apatis terhadap politik.
 
Perlu diperhatikan bahwa betapa pentingnya literasi digital dan kesadaran sosial di tengah derasnya arus informasi. Dengan memahami Gamergate, Anda bisa memahami bagaimana budaya online bekerja, bagaimana kekuasaan berpindah tangan melalui algoritma, dan bagaimana bias sosial bisa hidup abadi di balik layar monitor.
 
Dukung Saya di Trakteer
 
Bagi Anda yang suka dengan artikel-artikel yang saya buat, saya berharap Anda bisa mendukung saya melalui sedikit donasi untuk meningkatkan kualitas konten yang saya buat. Rencananya, saya ingin memiliki website sendiri. Apabila Anda berkenan, silakan klik gambar di bawah ini untuk menuju halaman donasi. 

Comments