[Story] Perbedaan Gamer dan Player | Perspektif Bocah Era Rental PS - Can't Pause for Gaming

Home Top Ad

Responsive Ads Here

06 January 2024

[Story] Perbedaan Gamer dan Player | Perspektif Bocah Era Rental PS

 
Pernah ngga sih waktu kecil berdebat tentang siapa yang lebih keren, antara menjadi seorang gamer atau hanya sebagai seorang player? Kejadian ini terjadi di sejarah hidup saya sewaktu kecil dulu, di mana era rental PlayStation (PS) 1 masih berkisar antara Rp3.000 per jam (bahkan ada yang harganya Rp1.500 dan Rp5.000 per jam) sebuah obrolan perbedaan gamer dan player yang sering menjadi bahan bercandaan namun serius di antara bocah-bocah sekolah.
 
Namanya juga bocah, kalau sok tahu ya wajar. Tapi, kalau sudah ngeselin pun terkadang ingin rasanya berkomentar dan memberitahu bocah lain yang sok tahu karena dari setiap generasi ke generasi akan selalu ada orang-orang baru yang mengenal game dan kekurangan informasi. Berbekal dengan apa yang mereka tahu dan yang mereka alami, biasanya mereka akan mengambil kesimpulan sendiri. Begitu pula dengan saya, ketika masih menjadi bocah ingusan.
 
Kalau Gamer itu, mainnya ngga di rental dan gamer juga tahu segalanya (tentang semua game atau pun game yang ia mainkan).
 
Pemikiran tersebut tertanam di kepala saya sewaktu masih SD sampai duduk di SMP. Namun, ketika berada di usia pertengahan 30an pada tahun 2021, pemikiran saya berubah. Saya kembali berpikir kenapa bisa menemukan pemikiran nyeleneh perbedaan antara gamer dan player? Apa jadinya kalau saya mempostingnya pemikiran ini di media sosial sekarang? Mungkin saya akan dihujani oleh banyaknya komentar yang mengatakan saya adalah orang yang tolol yang tidak memiliki pengetahuan yang baik dan malas untuk mencari tahu terlebih dahulu di Google search.
 
Pengalaman masa kecil di rental PS.
 
Waktu saya masih SD, sekolah saya memakai sistem dua shift: pagi dan siang. Kebetulan murid kelas 4 mendapatkan shift siang yang masuk sekitar pukul 13:00 dan beraktivitas sampai dengan 17:30. Biasanya sebelum masuk sekolah, saya dan teman-teman hampir setiap hari janjian untuk main ke rental PS yang ada di dekat sekolah sekitar pukul 10:00. Beberapa dari mereka ada yang punya PS sendiri di rumahnya dan ikut main seru-seruan juga di rental dengan membawa kaset dan Memory Card sendiri, namun lebih banyak yang tidak punya PS, termasuk saya.
 
Berawal dari sini lah muncul rasa iri dan kagum menjadi satu. Saya mulai berpikir mengenai apakah membeli memory card adalah hal yang wajib bagi seorang gamer? Penyebabnya adalah karena saya suka sekali bermain game adventure dan RPG waktu itu, seperti Tomba 2, Crash Bandicoot, Suikoden, Final Fantasy, dll. sedangkan game yang saya dan teman-teman mainkan di rental bersama-sama biasanya hanya game-game multiplayer yang tidak terlalu butuh penyimpanan progress game, seperti Winning Eleven, Crash Team Racing, Nascar Rumble, atau game-game yang merusak stick di game Bishi Bashi. Kala itu, harga memory card original berada di sekitar ratusan ribu dan harga memory card yang biasa itu hanya 40rban saja. Tapi, kalau tidak membeli yang original akan dipandang rendah. Lagi-lagi pemikiran ini bermain tentang kasta yang membedakan antara gamer dengan player.
 
Istilah perbedaan gamer dan player versi bocah SD, Seperti pembagian kasta.
 
Dari kejadian yang ada di rental, saya mulai mengelompokkan orang-orang yang memiliki PS sendiri di rumahnya dan yang main di rental karena tidak memiliki PS. Mereka yang punya PS di rumah tentu lebih mudah untuk memainkan game meskipun ada batasan waktu tertentu ketika mereka bermain di rumah, seperti hanya boleh main di hari libur atau akhir pekan. Mereka yang tidak punya PS sudah pasti seharusnya nasibnya akan sama seperti saya, yakni harus menabung terlebih dahulu untuk membayar billing (lamanya bermain) dan kalau bisa menabung untuk membeli game dan memory card untuk bisa memainkan game yang disukai.
 
Lalu saya mengelompokkan kembali orang-orang yang memiliki memory card sendiri dan yang tidak memiliki memory card. Ketika sampai di sekolah, obrolan mereka yang punya memory card ini selalu tentang masalah progress game sudah sampai mana pencapaian game mereka. Ada yang mencapai kota selanjutnya, ada yang mendapatkan item atau quest rahasia, ada juga yang berhasil mengalahkan bos yang lebih jauh daripada teman-teman lainnya.
 
Orbolan game yang lebih mendalam seperti itulah saya menyebut mereka sebagai Gamer, bukan player.
 
 
“Gw udah dapet 5 buah dong,” kata salah satu teman saya yang merasa senang bermain game Harvest Moon pada saat itu. Mereka berkelompok sambil membahas buah energi yang bisa meningkatkan stamina di game, tapi cukup sulit untuk mendapatkannya karena lokasinya di game yang tidak diketahui.
 
"Tapi, kenapa ya ngga dijual aja buahnya tuh. Kan susah nyarinya." Kata temen saya yang kelihatan kesulitan untuk mencari buah ini dan berusaha untuk berpikir kritis kenapa developer tidak menjual buah langka tersebut di NPC.
 
"Di situ menariknya. Kalo semua dijual kan ngga menarik, bener dong?" Ucap seorang teman yang saya cap sebagai gamer. Pemikirannya terkadang berbeda di antara kita sesama bocah SD kala itu, entah lebih kritis atau lebih berwawasan luas karena ia memiliki banyak sumber informasi seperti kemudahan untuk membeli majalah game pada saat itu.
 
Bagi saya, gamer adalah orang yang bisa memainkan game kapan saja, di mana saja, dan memiliki console serta memory card pribadi (dalam konteks ini adalah mereka yang memiliki PS di rumah meskipun main gamenya di hari libur atau akhir pekan. Sedangkan player adalah mereka yang cuma bisa main di rental dengan usaha yang lebih ekstra seperti menabung terlebih dahulu, tidak memiliki console dan memory card, serta akses untuk menikmati gamenya juga terbatas.
 
Hobi yang terpenuhi vs tertunda.
 
Rasa iri di dalam diri saya semakin menggila, di mana saya memikirkan terus-menerus mereka yang perlu usaha untuk memainkan game-game kesayangan mereka dengan membandingkan mereka yang dengan mudahnya untuk bermain game. Mulai dari mengumpulkan uang untuk bermain ke rental PS, beli kaset, beli memory card, sampai buku walkthrough yang masih jarang pada jaman itu selalu terpikirkan betapa indahnya membeli itu semua hanya karena mereka adalah orang kaya yang memiliki banyak uang.
 
Mereka yang sulit seperti saya, adalah Player. 

Lucu bukan? Hanya karena rasa ingin punya dan ingin seperti mereka, bisa-bisanya saya mengklasifikasn mereka seperti ini. Saya pun menjadi seorang pemikir di antara teman-teman saya karena ingin terlihat keren sama seperti teman saya yang memilki pemikiran berbeda tentang game-game yang ia mainkan. Plesetan bahasa dan penggeseran makna kata gamer dan player ini lama-kelamaan menyebar luas di kalangan sekolah saya waktu itu. Tidak heran, beberapa rental dekat sekolah, sesekali saya mendengar obrolan antara gamer dan player yang seolah mereka meng-iya-kan istilah ini. Anehnya, pemikiran bocah-bocah kelas 4 SD ini menjadikan kata gamer dan player menjadi sesuatu yang bersifat mendalam bukan hanya sebutan.
 
Bukan sok tahu, hanya kurang pemahaman.
 
Gamer, dalam arti yang sebenarnya adalah orang yang bermain game.
 
Player, dalam arti yang sebenarnya adalah sebutan untuk pemain baik itu pemain game, pemain musik, pemain film, hingga pemain olahraga.
 
 
Istilah yang lebih tepat untuk mengatakan bahwa pengetahuan seorang gamer yang satu lebih baik dibandingkan dengan yang lain adalah mereka bisa memakai kata nerd atau nerdy dalam sebuah ungkapan atau obrolan. Tapi sayang sekali, istilah nerd tidak pernah terdengar oleh saya waktu itu saat masih SD, namun saya mendengarnya pada saat kelas 6 SD dan istilah geek pada saat masih SMA. Semakin dewasa, pemikiran saya menjadi semakin terbuka kalau ternyata istilah gamer adalah seseorang yang bermain game, baik itu profesional, kasual, di rumah, di rental, yang punya console maupun yang tidak punya. Sedangkan player memiliki arti yang lebih luas karena artinya adalah pemain, tidak hanya game namun bisa sama pemain musik, film, hingga bahkan olahraga.
 
Semua bocah ingin meluapkan hasrat bermain game.
 
Demi menikmati hobi bermain game di masa sekolah, ada banyak usaha yang dilakukan. Misalnya intensitas belajar menjadi lebih sering daripada biasanya, nilai rapor harus memuaskan dan kalau bisa mendapatkan ranking teratas, hingga orang tua yang puas dengan prestasi anaknya adalah impian semua bocah. Namun, tidak semua bocah bisa mewujudkan impian orang tua tersebut sehingga sangat sulit untuk menikmati bermain game di kemudian hari. Misalnya, tidak boleh bermain game lebih dari satu jam meskipun di hari libur atau akhir pekan bagi mereka yang memiliki console, tidak mendapatkan uang jajan yang cukup banyak untuk menabung bermain di rental, atau bahkan sama sekali tidak boleh bermain game atau bermain keluar rumah karena dipaksa belajar terus-menerus.
 
Pengorbanan yang dilakukan bocah-bocah seperti ini juga perlu diapresiasi, pasalnya mereka merelakan beberapa hal yang mungkin tidak mereka suka untuk dapat menikmati hasil dari pengorbanannya yang cukup panjang, seperti belajar atau mengikuti les tambahan. Tingginya hasrat seorang bocah untuk bermain game bukan hanya tentang memegang stick controller pada sebuah console, melainkan hal yang jauh lebih dari itu. Misalnya mendapatkan informasi tambahan mengenai game yang sedang dimainkannya atau informasi lain tentang update dunia game. Untuk mendapatkan informasi tersebut di zaman itu masih cukup sulit dan kami para bocah harus rela jauh-jauh datang ke toko buku yang jaraknya mungkin lebih dari satu jam menaiki angkutan umum. Akses internet pun masih sangat mahal meskipun sudah ada warnet yang memiliki koneksi internet ketika saya sudah duduk di bangku SMP, di mana satu jam bisa mencapai Rp10.000 dan bahkan ada yang lebih dari ini.
 
Ada satu kios majalah kaki lima di pinggir jalan sepanjang perjalanan dari rumah saya menuju sekolah namun tidak selalu ada informasi yang kami cari seperti majalah game yang terkadang sudah habis dibeli oleh gamer lain sehingga harus menunggu beberapa hari lagi untuk stock ulang. Saya dan teman-teman pun mengalami kesulitan untuk mencari walkthrough sebuah game meskipun sudah memesan melalui penjaga/pemilik kios tersebut, sehingga mau tidak mau harus tetap pergi jauh ke toko buku atau mencari kios lain yang mana cukup jarang terdapat kios yang menjual majalah/walkthrough game. Karena keterbatasan dan usaha untuk memenuhi hasrat ingin bermain game inilah kami selalu bermain dengan pemikiran kami. Salah satunya adalah 'meng-ide-kan' istilah perbedaan gamer dan player.
 
Kesimpulan
 
Saya yakin di zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi yang membeda-bedakan antara gamer dan player seperti apa yang saya pikirkan dahulu. Zaman sekarang teknologi sudah sangat jauh lebih maju dan tentu ilmu pengetahuan sudah dapat diakses dari mana pun dan kapan pun. Mungkin orang akan berpikir dan mencari tahu terlebih dahulu ketimbang langsung nyeplos ngomong apa yang ingin ia sampaikan (kecuali orang-orang bodoh di media sosial).
 
Terlebih ditambah banyaknya player dari tim esport yang terlihat jelas membedakan mana gamer dan player. Para tim esport disebut sebagai gamer dan mereka adalah player dari timnya atau di gamenya masing-masing. Mungkin lebih tepatnya adalah setiap orang yang menikmati game bisa disebut sebagai gamer dan orang yang memainkan suatu game dari pov (point of view) game tersebut (developer) bisa disebut sebagai player. Pengalaman, usaha, dan kecintaan terhadap game jauh lebih penting daripada sekadar status memiliki console atau tidaknya.

No comments:

Post a Comment