Perbedaan Gamer dan Player, Bacotan Bocah Jaman Dulu - Can't Pause for Gaming

Home Top Ad

Responsive Ads Here

06 January 2024

Perbedaan Gamer dan Player, Bacotan Bocah Jaman Dulu

 
Namanya juga bocah, kalau sok tahu ya wajar. Tapi, kalau udah ngeselin pun kadang ingin rasanya berkomentar dan memberitahu bocah-bocah yang sok tahu. Dari setiap generasi ke generasi akan selalu ada orang-orang baru yang mengenal game dan kekurangan informasi. Berbekal dengan apa yang mereka tahu dan mereka alami, biasanya mereka akan mengambil kesimpulan sendiri. Begitu pula dengan saya, ketika masih menjadi bocah ingusan.
 
Kalau Gamer itu, mainnya ngga di rental. Gamer tuh tau segalanya, player mah maenin doang.
 
Pemikiran ini tertanam di kepala saya sewaktu masih SD sampai duduk di SMP.
 
Ketika berada di usia pertengahan 30an pada tahun 2021, saya kembali mikir kenapa bisa menemukan pemikiran nyeleneh kaya gitu. Apa jadinya kalau saya yang sudah tidak lagi bocah ingusan ini memberikan ide dan gagasan antara gamer dan player itu di media sosial? Habis dikomentari mungkin layaknya seorang orang tolol yang tidak memiliki landasan ilmu pengetahuan apapun dan berani berkomentar mencap orang lain di ruang terbuka.
 
Berawal dari keinginan bermain game.
 
Di jaman dulu, murid-murid sekolah SD kelas 4, sekolah saya ini ada jam pagi dan siang. Hanya kelas 4 saja yang mendapatkan jam siang sekitar 13:00 sampai dengan 17:30 WIB kala itu dikarenakan sekolah saya yang cukup kecil sehingga harus membagi 2 waktu seperti ini.Biasanya sebelum masuk sekolah, saya dan kawan-kawan janjian untuk main ke rental PlayStation (PS) sekitar jam 10:00 yang ada di dekat sekolah. Beberapa dari mereka ada yang punya PS dan ada juga yang tidak punya, termasuk saya. Mereka yang punya PS biasanya mereka membawa kaset dan Memory Card sendiri.
 
Dari sini lah muncul rasa iri dan kagum menjadi satu. Mulai berpikir keras apakah membeli memory card adalah hal yang wajib? Sedangkan game yang kita mainkan biasanya hanya game-game multiplayer yang ngga terlalu butuh penyimpanan memory, seperti Winning Eleven, Crash Team Racing, Nascar Rumble, atau sekedar merusak stick di game Bishi Bashi. Kala itu, harga memory card original berada di sekitar ratusan ribu dan harga memory card yang biasa itu hanya 40rban saja. Tapi, kalau tidak membeli yang original akan dipandang rendah. Lagi-lagi pemikiran ini bermain tentang kasta.
 
Seperti pembagian kasta.
 
Saya mulai mengelompokkan orang-orang yang punya PS di rumah dan yang main di rental. Mereka yang punya PS di rumah tentu lebih mudah untuk memainkan game meskipun ada batasan waktu dalam bermain di rumah. Mereka yang tidak punya PS sudah pasti seharusnya nasibnya akan sama seperti saya, yakni menabung dulu dan memainkan game apa yang bisa dimainkan.
 
Lalu saya mengelompokkan kembali orang-orang yang punya memory card. Ketika sampai di sekolah, obrolan mereka yang punya memory card ini selalu tentang masalah game dan sudah sampai mana pencapaian game mereka.
 
Saya menyebut mereka Gamer.
 
 
“Gw udah dapet 5 buah dong,” kata salah satu teman saya yang lagi senang-senangnya main game Harvest Moon pada saat itu. Mereka berkelompok sambil membahas buah energi yang bisa meningkatkan stamina di game, tapi cukup sulit untuk mendapatkannya karena lokasinya di game yang tidak diketahui.
 
"Tapi, kenapa ya ngga dijual aja buahnya tuh. Kan susah nyarinya." Kata temen saya yang kelihatan kesulitan untuk mencari buah ini.
 
"Di situ menariknya. Kalo semua dijual kan ngga menarik. Bener kan?" Ucap seorang teman yang saya cap sebagai gamer. Pemikirannya kadang memang berbeda di antara kita sesama bocah SD kala itu.
 
Saya mengklasifikasikan gamer pada saat itu adalah: orang yang bisa bermain game tanpa ada keterbatasan biaya sama tempat, dan orang yang bisa menyimpan progress game mereka tanpa kesulitan. Intinya, mereka punya alatnya.
 
Hobi yang terpenuhi vs tertunda.
 
Rasa iri ini semakin menggila, di mana saya memikirkan terus menerus mereka yang perlu usaha untuk memainkan game-game kesayangan mereka dan ada yang dengan mudahnya untuk bermain game. Mulai dari mengumpulkan uang untuk bermain ke rental PS, beli kaset, beli memory card, sampai buku walkthrough yang masih jarang pada jaman itu.
 
Mereka yang sulit seperti saya, adalah Player. 

Lucu bukan? Hanya karena rasa ingin punya dan ingin seperti mereka, bisa-bisanya saya mengklasifikasn mereka seperti ini. Saya pun menjadi seorang pemikir di antara teman-teman saya karena ingin terlihat keren sama seperti teman saya yang memilki pemikiran berbeda tentang game-game yang ia mainkan.
 
Plesetan bahasa dan penggeseran makna kata Gamer dan Player ini lama-kelamaan menyebar luas di kalangan sekolah kami waktu itu. Ngga heran, beberapa rental dekat sekolah sesekali kami mendengar obrolan antara Gamer dan Player yang seolah mereka meng-iya-kan istilah ini. Anehnya, pemikiran bocah-bocah kelas 4 SD ini menjadikan kata Gamer dan Player menjadi sesuatu yang bersifat mendalam bukan hanya sebutan.
 
Bukan sok tahu, hanya kurang pemahaman.
 
Gamer, dalam arti yang sebenarnya adalah orang yang bermain game.
 
Player, dalam arti yang sebenarnya adalah sebutan untuk pemain baik itu pemain game, pemain musik, pemain film, hingga pemain olahraga.
 
 
Istilah yang lebih tepat untuk mengatakan bahwa pengetahuan seorang gamer yang satu lebih baik dibanding yang lain bisa memakai kata nerd. Tapi sayang sekali, istilah nerd tidak pernah terdengar oleh kami waktu itu.
 
Semua orang ingin meluapkan hasratnya melalui hobi.
 
Main game jalan, belajar sedikit, nilai rapor memuaskan, orang tua ngga pernah marah-marah adalah impian anak-anak sekolah. Tidak semua orang bisa merasakan dan mendapatkan hal ini. Beberapa anak mungkin harus menantikan akhir pekan untuk dapat bermain game, tapi itu pun kalau tidak ada acara keluarga atau nilainya bagus. Ada juga anak-anak yang harus menabung beberapa hari untuk dapat main game di rental.
 
Pengorbanan yang dilakukan anak-anak seperti ini juga perlu diapresiasi, pasalnya mereka merelakan beberapa hal yang mungkin tidak mereka suka untuk dapat menikmati hasil dari pengorbanannya yang cukup panjang.
 
Apakah anda dapat membayangkan, untuk mendapatkan informasi tentang sebuah game kala itu masih cukup sulit dan kami para gamers harus rela jauh-jauh ke toko buku Gramedia yang ada di Bintaro atau Blok M. Rumah kami kebanyakan di daerah Ciledug dan jarang dari kami yang memiliki kendaraan pribadi. Kami harus merogoh kocek untuk naik angkutan umum, menaiki sepeda yang tidak dekat jaraknya, atau bahkan rela berjalan kaki.
 
Beberapa kios majalah kaki lima akan kami kunjungi setiap pulang sekolah sambil menunggu angkutan umum. Tapi, tidak selalu ada informasi yang kami cari seperti majalah game yang tidak lengkap, walkthrough game yang bukan kami inginkan, hingga sama sekali tidak ada hal-hal yang berhubungan dengan game. Karena keterbatasan dan usaha kami semua untuk memnuhi hasrat ingin bermain game inilah kami selalu bermain dengan pemikiran kami. Salah satunya adalah 'meng-ide-kan' istilah Gamer dan Player.
 
Kesimpulan
 
Saya yakin di jaman sekarang ini sudah tidak ada lagi yang membeda-bedakan antara Gamer dan Player seperti apa yang saya pikirkan dulu. Jaman sekarang teknologi sudah jauh lebih maju dan tentu ilmu pengetahuan sudah dapat diakses dari mana pun dan kapan pun. Mungkin orang akan berpikir dan mencari tahu terlebih dahulu ketimbang langsung nyeplos ngomong apa yang ingin ia sampaikan.
 
Terlebih ditambah banyaknya pemain-pemain (player) dari tim esport yang terlihat jelas membedakan mana gamer dan player. Para tim esport disebut sebagai gamer dan mereka adalah player dari timnya atau di gamenya masing-masing.
 
Mungkin lebih tepatnya adalah seperti ini:
 
Setiap orang bisa menjadi gamer,
Player = User

No comments:

Post a Comment